post.png
mekanisme_pasar.jpg

Di Bawah Ketiak Mekanisme Pasar

POST DATE | 17 Juli 2017

Pada tahun 2015 pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla telah menetapkan harga BBM, elpiji, dan beberapa komoditas publik lain diserahkan pada mekanisme pasar. Konsepsi itu ditandai dengan usaha mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), elpiji, ongkos kereta api dan lain sebagainya. Di luar itu telah dirancang tarif listriknya ditetapkan dengan skema harga adjustment (penyesuaian) tergantung harga minyak/Indonesia Crude Price (ICP), nilai tukar (kurs), dan inflasi.

Tidak hanya itu, PT Pertamina (persero) dalam waktu dekat akan meluncurkan varian BBM baru bernama Pertalie. Produk baru Pertamina itu harga ke masyarakat sesuai harga BBM premium yang sudah mengikuti mekanisme pasar, atau tunduk pada fluktuasi harga minyak dunia.
Masalahnya, begitu ikut irama harga pasar, ternyata pemerintah tak mampu mengendalikan kenaikan harga. Penetapan harga layanan BUMN yang bersifat public services seperti harga BBM, tarif listrik, harga elpiji, tarif KA Ekonomi kini bergerak liar sesuai kekuatan fluktuasi mekanisme pasar. Harga segala sesuatunya mengacu pada fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar AS, dan faktor ekonomi global lainnya.
Jika dalam perspektif keadilan subsidi, pengurangan subsidi BBM memang perlu dilakukan. Namun demikian, tidak dengan melepas harga barang subsidi kepada mekanisme pasar. Apalagi dengan cara yang tidak terprogram sehingga terkesan membabi buta dan membuat masyarakat terkaget-kaget.
Kalau merujuk ke negara lain, memang bisa saja mereka sudah melepas harga BBM, listrik, elpiji, ke mekanisme pasar. Akan tetapi, mereka sudah dalam kondisi perekonomian yang stabil, juga infrastruktur dan transportasi publiknya sudah baik.
Oleh itu, jika di Indonesia harga BBM, listrik, elpiji diserahkan ke mekanisme pasar, maka negara sebenarnya sudah tidak berperan apapun. Karena jika Indonesia di bawah ketika mekanisme pasar, berarti fluktuasi harga minyak dan kurs, semuanya diserahkan ke konsumen. Padahal, ketika harga minyak mentah turun naik atau nilai tukar rupiah melemah, maka itulah negara memiliki fungsi stabilisasi dengan memberikan subsidi.
Selain itu, mestinya publik perlu diberikan pemahaman suatu waktu bahwa subsidi harus dicabut karena membebani APBN. Ditambah pula, subsidi membuat ruang fiskal untuk belanja sektor produktif menjadi terbatas. Apalagi jika ternyata sebagian besar subsidi yang berlaku tidak tepat sasaran. Namun demikian, bukan karena kondisi tersebut pemerintah lalu sekehendaknya menghapus subsidi tanpa memperhatikan dan melindungi masyarakat yang terdampak cukup fatal.
Contoh indikator penting dari mekanisme pasar adalah harga pasar. Harga dari sisi produsen terbentuk dari beberapa komponen biaya produksi barang atau jasa yang dihasilkan. Jadi, ketika salah satu komponen biaya mengalami kenaikan harga barang atau jasa yang dipasarkan, juga mengalami kenaikan, begitu pula sebaliknya.
Kasus yang menarik adalah ketika kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), sebagai salah satu komponen biaya produksi bagi semua barang atau jasa yang dihasilkan. Kenaikan atau penurunan BBM, secara otomatis akan memberikan pengaruh kepada biaya produksi barang atau jasa.
Demikian pula sebaliknya ketika harga BBM diturunkan, maka harga barang atau jasa, seharusnya ikut turun. Mekanisme pasar seharusnya bekerja seperti tersebut di atas, akan tetapi yang terjadi tidak demikian. Kondisi itu menunjukkan berada di bawah ketiak mekanisme pasar,
Faktanya, mekanisme pasar yang didewakan itu tidak mampu bekerja dengan baik. Ketika terjadi kenaikan harga BBM, harga barang atau jasa ikut mengalami kenaikan. Tetapi ketika harga BBM turun, harga barang atau jasa tidak mengalami penurunan.
Lihatlah setelah penghapusan subsidi BBM jenis premium, hingga kini rakyat belum dapat melihat perkembangan dari pengalihan subsidi BBM ke infrastruktur. Pemerintah belum konsisten antara pengalihan subsidi langsung kepada subsidi tepat sasaran.
Mestinya sebelum pemberlakuan pencabutan subsidi pemerintah harus membangun terlebih dahulu berbagai infrastruktur energi dan transportasi seperti sarana konversi BBM ke BBG, mengembangkan energi baru terbarukan, dan membangun sarana transportasi massal.
Dana yang dihemat dari pengurangan subsidi BBM tidak hanya digunakan untuk membangun infrastruktur dasar, pelabuhan, bandara, waduk dan saluran irigasi, serta jalan desa. Tetapi  sebagian harus diprioritaskan pula membangun sarana dan memeroduksi energi, seperti pipa gas dan SPBG, pengembangan energi baru dan terbarukan serta eksplorasi migas.
Pastinya kini masyarakat terbelenggu dalam ketidakpastian. Masyarakat terkaget-kaget dengan kebijakan pemerintah. Harga kebutuhan pokok liar. Melonjak naik, dan bahkan ada yang pernah mengalami kelangkaan seperti beras dan elpiji 3 kg.
Pemerintah justru cenderung membentuk struktur pasar yang kurang sehat (market failure) di dalam negeri sehingga berdampak munculnya kekuatan monopoli dan oligopoli dalam komoditas gula, beras, dan cabai maupun jasa perbankan. Lalu, yang terjadi pemerintah kesulitan mengendalikan gejolak harga akibat struktur pasar kurang sehat.
Pada situasi yang demikian, menurut M. Iqbal Dawami (2011) secara hakikat kedaulatan tidak lagi berada di tangan rakyat, tetapi di tangan berbagai perusahaan besar yang menguasai pasar. Suara rakyat hanya diperlukan menjelang pemilihan umum!
Padahal secara konstitusional, jika harga BBM dicabut subsidinya dan harganya sesuai dengan mekanisme pasar itu telah melanggar amanat UUD 1945. Pasal 33 ayat (3) menyebutkan: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat .
Setidaknya proteksi hak rakyat dari liberalisasi ditunjukkan dengan dibatalkannya Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal tersebut mengatur harga migas diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar yang tidak lain adalah mekanisme pasar. 
Pasal itu ditolak, karena sangat terasa muatan liberalnya dan lepasnya tanggung jawab Pemerintah dalam melindungi rakyatnya. MK telah memutuskan bahwa UU itu bertentangan dengan konstitusi UUD NRI 1945 (Vide Putusan MK No.002/PUU/1/2003). Disebut bertentangan karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Intinya, sistem ekonomi negeri ini tak boleh diserahkan ke harga pasar termasuk beras, kebutuhan pokok, bahan bakar, listrik dan sebagainya. Faktanya begitu BBM naik, semua harga akan melonjak naik dan itu menggerus pendapatan rakyat berujung kepada memiskinkan rakyat.
Ishak Rafick dalam M. Iqbal Dawami (2011) menyebut pemerintah Indonesia mudah sekali dipengaruhi oleh pandangan ortodoks dan neoliberal. Imbasnya adalah negara ini pun hanya memperjuangkan kepentingan segelintir elite, sedangkan urusan rakyat diserahkan kepada  belas kasihan mekanisme pasar (market mecahnisme).
Padahal daulat pasar ini sangat berbahaya, neolib, privatisasi, jual aset negara kepada asing. Eksesnya bisnis dalam negeri tidak jalan. Faktanya pula, jika negara bahwa tunduk kepada daulat pasar justru  yang untung adalah pihak yang kaya (bahkan mereka makin kaya) saja. Spekulan merajalela, dan yang miskin makin terpuruk. Itulah dampak buruk  ketika pemerintah menggiring negara ini berada di bawah mekanisme daulat pasar. Jika ini benar, berarti negeri ini sedang menggali kuburnya sendiri!

 

========

Sumber: Waspada__jumat_1_mei_2015/29



Tag: , ,

Post Terkait

Komentar