post.png
harga_bbm.jpg

Hore...Minyak Turun Lagi

POST DATE | 20 Agustus 2017

Setiap penaikan harga BBM memang bakal menghentak rakyat jelata. Apapun alasan yang dikemukakan pemerintah, rakyat tetap saja semakin menderita. Tetapi, kabar terkini justru lebih menghentak lagi, karena pemerintah berani menurunkan harga premium dan solar.

Betapa tidak, penurunan harga premium dan solar itu cukup signifikan. Setidaknya untuk sementara penurunan itu cukup melegakan. Kedua jenis BBM itu, sejak 15 Januari 2009, harganya terpaut pada angka Rp4.500/liter.

Masyarakat boleh bernafas lega sambil mengucapkan hore...minyak turun lagi. Sekadar bandingan pula, di Malaysia penurunan harga minyak telah dilakukan sebanyak 7 (tujuh) kali.

Ya...memang cukup beragam respons yang muncul atas penurunan itu. Ada yang melihat ini adalah skenario politik jelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Tafsiran atau cara pandang boleh beda. Wajar saja bagi politisi, kebijakan ini dianggap sebagai strategi politik. Siapapun tak boleh melarang warga negara untuk berpikir merdeka.

Sebaliknya bagi ekonom penurunan harga itu tentu punya perspektif lain. Motif dampak krisis global kaitannya dengan harga minyak dunia tentu juga dapat dikaitkan. Katup pengaman kebijakan ekonomi, jangan sampai terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) boleh juga diinterpretasikan. Soal itu, terserah saja bagi para politisi atau ekonom untuk berpolemik tentang itu.

Lebih penting dari itu penurunan harga minyak harus memiliki dampak positif. Yaitu masyarakat punya kemampuan daya beli. Pemerintah harus terus mengupayakan agar masyarakat meningkat pendapatannya. Untuk itu, masyarakat harus diberi keyakinan.

Karena alasan apapun dari pemerintah soal penurunan itu, jangan sampai dianggap tak lebih sebagai lipstik untuk menutupi rencana sesungguhnya yang selalu disembunyikan. Silahkan saja lakukan pencitraan. Politik pencitraan adalah seni berpolitik, tetapi hal itu masyakat jangan dikorbankan.

Jangan ada lagi alasan macam-macam. Mungkin masih segar dalam ingatan publik, soal alasan pemerintah tatkala menaikkan harga BBM. Misalnya, alasan menaikkan harga BBM untuk mengoreksi yang tidak tepat sasaran, menghemat konsumsi BBM, menghindari penyelundupan dan sebagainya.

Kadangkala sangat terasa, itu hanyalah alasan pemerintah yang dicari-cari. Itu bukan penjelasan namun justru pengaburan dari motif yang sebenarnya.

Demikian pula alasan penurunan harga BBM ini. Harusnya logika penurunan tak ada tali temalinya dengan politik. Sebab penurunan harga BBM itu merupakan keniscayaan. Penurunan harga minyak merupakan tren di pasar dunia.

Dulu tatkala harga BBM dinaikkan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebut kenaikan harga dilakukan karena tingginya harga minyak dunia. Kondisi itu menyebabkan angka subsidi membengkak.
Jadi, logika penyetaraan harga bahan bakar minyak di dalam negeri adalah harga pasar global. Tentu, begitu harga minyak dunia turun, wajar harga minyak di Indonesia juga turut turun.

Menggusur Simalakama

Sekadar catatan penaikan harga BBM sebelumnya telah tiga kalinya selama pemerintahan SBY-JK. Penaikan pertama terjadi pada Maret 2005, dengan besaran kenaikan rata-rata 29%. Selanjutnya, Oktober 2005, harga BBM naik lagi hingga rata-rata 128%. Terakhir, harga BBM naik lagi rata-rata 28,7%.

Meski masyarakat boleh bergembira atas penurunan harga minyak itu, tetapi jangan sampai terlena. Pengalaman sebelumnya menunjukkan penurunan harga premium dan solar, ternyata tak signifikan terhadap harga komoditas publik.

Di sektor kebutuhan pokok, harga justru terus naik dan melonjak tajam. Tren yang muncul harga entitas komoditas publik sulit dikendalikan pemerintah. Kalau dianalogi dengan bendera, bendera itu terus naik sampai ke puncak tiang.

Penurunan harga minyak justru makin tergerus dengan penaikan kebutuhan pokok. Memang sungguh aneh fenomena yang terjadi. Harga kebutuhan pokok sehari-hari terus meroket naik. Efek psikologis penurunan harga BBM tidak berpengaruh signifikan di pasaran.

Apakah ini fenomena belaka atau ini adalah fakta, tak bisa dicerna akal sehat? Pemerintah harusnya dapat mengurai benang kusut ini.

Keluar dari masalah itu perlu dicari solusi. Memang fakta ini tidak mudah untuk diselesaikan. Bahkan terasa ganjil. Sebab harusnya begitu harga BBM turun, harga kebutuhan pokok juga ikut turun. Di sisi lain, fakta ini terasa ganjil. Mengapa pasar tidak fair dan bersikap diskriminatif.

Apakah gonjang ganjing harga itu, akibat pemerintah tidak jujur dan ada yang disembunyikan?. Pastinya penurunan minyak itu belum terasa dampaknya di kalangan pegawai rendahan, buruh, nelayan, dan kelompok bawah lainnya.

Kalau begitu masalah pokok, adalah signifikansi penurunan harga minyak, kok tak diikuti penurunan kebutuhan pokok dan ongkos transportasi? Akhirnya, bagi masyarakat bawah, penurunan harga minyak itu seperti buah simalakama.

Nyaris tidak ada yang menguntungkan. Tak ada yang dapat dipilih. Harga minyak naik atau turun sama-sama tak memberi untung. Harga minyak naik kebutuhan pokok turut mahal. Sebaliknya tatkala harga minyak turun, tetapi harga kebutuhan pokok masih bertahan di puncak.

Belum lagi ongkos transportasi. Pengusaha bersikeras untuk tidak menurunkan ongkos. Alasan juga macam-macam. Walau kadangkala terasa alasan itu dicari-cari dan mengakali. Pengusaha tidak jujur dan tidak adil. Saat harga minyak naik, pengusaha teriak sekeras-kerasnya agar ongkos juga naik.

Masalahnya, tatkala harga minyak turun, pengusaha justru banyak membuat apologi. Ada beralasan harga suku cadang tetap tinggi dan tak ikut turun.  Minyak cuma sebagian kecil saja dari komponen operasional transportasi. Pungutan liar masih merajalela. Atau seonggok apalogi lain yang cenderung mau menang sendiri.

Bagaimana mungkin terjadi penurunan harga minyak bakal mendongkrak daya beli masyarakat? Penurunan harga minyak harusnya bukan sekadar ‘obat pening’ semata. Selama ini penaikan harga BBM langsung menyebabkan akumulasi beban ekonomi yang tidak mampu dipikul rakyat dan dunia usaha. Sebaliknya tatkala dilakukan penurunan harga minyak, justru tak menyintuh harga komoditas publik.

Apa masalahnya dan sampai kapan masyarakat harus menunggu manfaat penurunan minyak itu? Kalau Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan harga barang kebutuhan pokok baru mulai turun, yakni satu bulan kemudian pascapenurunan harga minyak.

Memang terasa ganjil juga, sebab penurunan harga minyak telah dimulai sejak Desember 2008 lalu. Lalu, berlanjut awal Januari 2009 dan kemudian per 15 Januari 2009 ini.

Mengapa pada periode itu sama sekali tak ada pengaruhnya? Apakah memang sengaja dibiarkan atau pemerintah tak mampu mengawasi pasar? Apakah masa menunggu satu bulan ke depan tidak terlalu lama? Lalu, kalau bulan depan, harga kebutuhan pokok tak bergerak turun, apa komitmen pemerintah? Apakah ada garansi untuk itu?

Harus diakui keadaan ini seperti benang kusut. Pasti sukar untuk mengurainya. Tetapi sesukar apapun, pemerintah punya kewajiban untuk menolong masyarakat. Setidaknya masyarakat jangan lagi disuguhkan hidangan buah simalakama itu.

Masyarakat tak betah dengan hidangan tak ada pilihan itu. Pemerintah harus berusaha sekuat tenaga. Masyarakat tak banyak meminta. Pemerintah tak harus menggusur simalakama itu.

Untuk permulaan cukup menggeser saja. Syukur luar biasa, kalau sekaligus menggeser dan menggusur buah simalakama itu. Sungguh berat beban masyarakat akibat penaikan harga minyak itu. Sebaliknya sungguh nikmat pula penurunan harga minyak itu, tentu kalau dibarengi penurunan harga barang dan ongkos transportasi.

 

=========

Sumber: 21 Januari 2009



Tag: , , Harga

Post Terkait

Komentar