POST DATE | 27 Juli 2017
Indonesia menempati konsumen terbesar ketiga di dunia untuk konsumen rokok, setelah Cina dan India. Saat ini tak kurang dari 80 juta masyarakat Indonesia adalah perokok (30 persen) dari total populasi. Dua dari tiga laki-laki di Indonesia adalah perokok aktif, dan pertumbuhan konsumsi rokok di kalangan remaja dan anak-anak menempati tercepat di dunia, 14% pertahun.
Perokok di kalangan rumah tangga miskin lebih mengkhawatirkan lagi. Data Badan Pusat Statistik (2014) mencatat bahwa kontributor komoditas yang paling mempengaruhi konsumsi di rumah tangga miskin adalah beras (23%), dan rokok (11%) dari total pengeluaran mereka.
Masalahnya, belum ada regulasi yang kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok di kalangan masyarakat; baik dari sisi penjualan, periklanan, distribusi, cukai/pajak, dan juga peringatan tentang bahaya rokok. Di Indonesia masalah pengendalian bahaya rokok, secara operasional hanya diatur melalui sebuah Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, dan turunan peraturan lainnya (permenkes). Waktu itu, Presiden Susiolo Bambang Yudhoyono menandatangani PP No.109 Tahun 2012, tertanggal 24 Desember 2012. Substansi Peraturan dimaksud selain berisi peringatan tentang kesehatan, dinyatakan setiap Kemasan Produk Tembakau harus mencantumkan informasi kandungan kadar Nikotin dan Tar pada sisi samping setiap Kemasan bungkusnya.
Selain itu, melalui PP No. 109 Tahun 2012 tersebut, pada Pasal 14 yang cukup positif untuk mengendalikan konsumsi rokok, yakni peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning/PHW) pada bungkus rokok, sebesar 40% bungkus bagian depan dan 40% bungkus bagian belakang.
Pencantuman gambar dan tulisan peringatan kesehatan harus memenuhi persyaratan: (1) Dicantumkan pada bagian atas kemasan sisi lebar bagian depan dan belakang masing-masing seluas 40%; (2) Gambar harus dicetak berwarna; dan (3) Jenis huruf harus menggunakan arial bold, font 10 (sepuluh) atau proporsional dengan kemasan.
Intinya, pada Pasal 14 PP tersebut adalah mewajibkan orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau ke wilayah Indonesia mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar dan tulisan yang mempunyai satu makna pada kemasan produk.
Turunan dari peraturan dimaksud, sejak 24 Juni 2014 yang lalu adalah deadline pemberlakuan PHW dimaksud di seluruh Indonesia, untuk semua jenis produk rokok tanpa terkecuali.
Fakta yang terjadi sejak deadline diberlakukan, tidak serta merta industri rokok mematuhi ketentuan dimaksud. Dua minggu pasca-pemberlakuan, menurut survei Badan POM tingkat kepatuhan industri rokok hanya 13-14 persen. Satu bulan kemudian meningkat menjadi 35 persen dan survei terakhir yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia kepatuhannya meningkat walau hanya 60% saja (Oktober 2014).
Diperkirakan merujuk data dari Badan POM, hingga saat ini tingkat kepatuhan industri rokok belum mencapai 100 persen. Ironisnya, tidak ada sanksi apapun yang dikenakan terhadap pelanggaran yang dilakukan industri rokok terkait kewajiban untuk mencantumkan PHW pada bungkus kemasan produk rokok tersebut.
LAPK-YLKI telah melakukan survei terkait penerapan label Peringatan Kesehatan Bergambar pada bungkus rokok yang dipasarkan di Kota Medan. Survei dilakukan pada Pebruari-Maret 2015, seperti di supermarket, minimarket, kios/warung, dan pedagang asongan/street vendor.
Survei dimaksudkan untuk mengukur tingkat kepatuhan industri rokok dalam mematuhi kewajiban pencantuman Peringatan Kesehatan bergambar tersebut. Hasilnya adalah dari 10 merek dan 28 lokasi survei, ada 5 gambar peringatan kesehatan yang disetujui: Kanker mulut, Lelaki Merokok dengan asap yang membentuk tengkorak, Kanker tenggorokan, Lelaki merokok dengan bayi didekatnya dan gambar Paru-Paru hitam karena kanker.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa Industri rokok ternyata tidak sepenuhnya mematuhi kewajiban pencantuman label peringatan kesehatan bergambar (Pictorial Health Warning/PHW) di bungkus kemasan rokoknya. Ada beberapa merek rokok tanpa PHW ditemukan di point of sale tertentu masih diperjualbelikan khususnya di minimarket.
Bahkan masih ada beberapa merek rokok yang tidak mencantumkan PHW tidak ditarik dari pasaran dan/atau ditukar oleh agen/sales perusahaan rokok dipajang didisplay tempat penjualan rokok, tetapi sebagian besar tidak diperjualbelikan.
Rerata survey Persyaratan Labeling, tingkat kepatuhan industri rokok dalam mencantumkan GTWL/PHW pada 10 (sepuluh) merek rokok yang tersebar pada 28 (dua puluh delapan) point of sale dipatuhi sebesar 97% (sembilan puluh tujuh persen) sedangkan tidak dipatuhi sebesar 3% (tiga persen). Tingkat kepatuhan industri rokok untuk mencantumkan informasi kesehatan pada merek rokok hanya 33% (tiga puluh tiga persen) dipatuhi sedangkan tidak dipatuhi sebesar 67% (enam puluh tujuh persen).
Sesuai ketentuan mestinya pencantuman label peringatan kesehatan bergambar (Pictorial Health Warning/PHW) di bungkus kemasan rokoknya sudah 100 persen. Oleh itu, peraturan yang ada perlu diawasi bersama, tidak semudah membalikan tangan hanya dengan membuat peraturan anti-merokok dan anti-tembakau, perlindungan dan edukasi serta pemulihan menjadi hal besar yang harus dilakukan pemerintah.
Makna terpenting dari norma itu adalah sangat mudah membuat dan menanda-tangani sebuah peraturan. Namun begitu, ternyata sulit mengaplikasikan substansi perlindungan peraturan tersebut. Boleh jadi, merokok menjadi sebuah dosa sosial yang ditumbuhkan dan dirawat.
Jadi, apabila orang sakit karena merokok, dan merokok adalah dosa atau dilarang oleh Negara. Setelah itu, negara atau pemerintah dengan mudah untuk cuci tangan. Tidak bertanggungjawab dan tidak perlu diurusi lagi. Toh itu terjadi, karena kesalahan yang dilakukan orang tersebut sendiri. Jadi, resikonya harus ditanggungnya sendiri.
========
Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com