POST DATE | 29 Juli 2017
Produk palsu ibarat sel kanker yang terus menyebar hingga ke penjuru dunia, pun ke Tanah Air tercinta ini. Sulit dibasmi bila berupaya sendiri-sendiri. Indonesia ditengarai menjadi sasaran empuk, menjadi ‘pasar’ produk ‘asli tapi palsu’ alias ‘aspal’.
Baik produk aspal yang datang dari luar negeri, maupun yang dibuat di dalam negeri. Jadi, saat ini masyarakat betul-betul diserbu produk aspal dari berbagai penjuru, sampai-sampai terdengar anekdot mengatakan: zaman serba palsu, sampai cinta pun direkayasa, dipalsukan!
Dampak praktik pemalsuan amat luas. Yang pasti negara dirugikan dalam sektor perolehan pajak, lalu hilangnya peluang kerja, berkurangnya keterampilan kerja sumber daya manusia Indonesia, sehingga menurunkan daya saing Indonesia di kancah dunia. Belum lagi citra negara menjadi buruk di internasional, serta nilai asli ekspor ikut turun, sebab tidak ada negara yang mau menerima barang palsu?
Dalam kasus barang palsu seringkali konsumen rugi dua kali. Pertama, konsumen membeli barang palsu dengan harga mahal, yang tidak berbeda jauh dengan harga asli. Kedua, dampak pemakaian produk palsu itu sangat membahayakan. Apalagi jika itu terjadi di industri obat. Sebab, jika ada obat palsu berharga murah, orang malah curiga dan tak mau beli. Itu sebabnya pemalsu malah memasang harga mahal. Mereka untung besar, masyarakat rugi besar.
Tipikal Konsumtif
Konsumen di Indonesia mempunyai tipikal konsumen yang konsumtif, membeli kurang teliti dan asal membeli. Setelah sadar, ternyata barang yang dibeli itu sudah rusak atau palsu, sehingga mereka merasa dirugikan. Oleh itu, masyarakat perlu dicerdaskan tatkala menggunakan haknya dengan baik. Selalu waspada, dan berhati-hati dalam memilih produk yang akan mereka beli atau mengonsumsi suatu produk. Karena, jika pengguna cerdas, kritis, dan berani bertindak, peredaran barang palsu dapat diminimalkan.
Masyarakat senantiasa perlu disadarkan akan haknya sebagai konsumen. Penjualan barang kedaluwarsa itu menunjukkan mental pedagang yang tidak memperhatikan etika bisnis, mengabaikan norma moral sebagai code of conduct. Konsumen mesti berani untuk melakukan perlawanan. Misalnya, jika merasa dirugikan, karena memperoleh barang palsu umpamanya, segera ajukan komplain ke toko tempat membeli. Jadi, ketelitian sebelum membeli sangat dibutuhkan.
Undang-Undang yang berusaha untuk melindungi konsumen sudah cukup banyak, tetapi dalam pelaksanaannya belum kuat dan perlu terus ditingkatkan. Selain itu, pengawasan terhadap barang beredar yang dilakukan oleh pemerintah masih kurang. Untuk mengatasi masalah produk palsu, sebenarnya pihak berwenang telah mengambil tindakan, tetapi sifatnya insidentil. Selain itu, juga maraknya keberadaan zat kimia berbahaya yang terjual dan beredar bebas di supermarket dan pasar tradisional merupakan contoh lainnya. Saat ini banyak pedagang atau produsen nakal yang membuat atau menggunakan zat-zat kimia berbahaya seperti boraks, formalin, dan zat pewarna tekstil untuk bahan makanan yang dijualnya.
Di sisi lain, produk jasa yang ada selama ini juga banyak yang merugikan konsumen. Seharusnya Pemerintah harus lebih tegas dalam melindungi konsumen. Akan tetapi sampai saat ini kepedulian Pemerintah masih sangat kurang. Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen.
Penegakan Hukum Rapuh
Pengawasan barang beredar di pasar domestik ternyata begitu lemah. Akibatnya, peredaran barang palsu dan barang ilegal semakin marak. Saking maraknya, beberapa kalangan menyebut, Indonesia adalah surganya barang palsu. Banyaknya peredaran palsu di pasar domestik disebabkan oleh kelemahan dalam pengawasan dan rapuhnya penegakan hukum.
Boleh jadi, di tengah maraknya peredaran barang palsu itu, terdapat adanya dugaan permainan dalam penegakan hukum sehingga dengan mudahnya barang tersebut beredar di masyarakat. Oleh itu, pemerintah dalam mengawasi produk bajakan ini harus melihat dalam sisi penegakan hukumnya sehingga pelaku barang bajakan ini dapat ditindak tegas.
Ekses barang palsu, tidak hanya mencederai persaingan usaha dan melukai hak konsumen, barang-barang palsu yang umumnya berasal dalam negeri sendiri maupun dari luar negeri akan berdampak negatif bagi pendapatan negara.
Diduga masih banyaknya aparat yang justru kongkalikong menutup-nutupi peredaran barang palsu ini. Bahkan tak sedikit juga barang-barang tersebut merupakan produk impor dari China, raksasa ekonomi Asia dan juga Malaysia.
Masalahnya fenomena adanya pemalsuan barang di Indonesia bukan suatu hal yang baru. Ini sudah berjalan sejak lama, dan memang pemerintah tidak tegas dan terkesan membiarkan tumbuh subur begitu saja. Sekarang semua barang bagus pasti ada KW 1, KW 2 dan seterusnya, dan di Indonesia tidak susah mencari barang bermerk dengan harga murah.
Dalam hal ini pemerintah gagal dalam memberikan perlindungan terhadap para pengusaha dan konsumen. Padahal pemerintah seharusnya bisa menjadi pengawas atau quality control produk dalam negeri. Konsumen yang masih belum sadar akan tingkat bahaya barang palsu juga menjadikan peredaran sulit dihentikan.
Kerugian Rp65,1 Triliun
Berdasarkan studi Masyarakat Indonesia Anti-Pemalsuan (MIAP) bekerja sama dengan FE Universitas Indonesia menemukan pada 2014, bahwa kerugian ekonomi negara akibat barang palsu mencapai Rp65,1 triliun. Pada 2010, pendapatan yang hilang karena barang palsu sudah mencapai Rp 43,2 triliun. Dengan begitu, terdapat peningkatan yang sangat signifikan potensi kerugian yang diderita negara.
Pemalsuan ini mendominasi tujuh komoditas yakni tinta printer 49,4%, pakaian 38,9%, barang dari kulit (tas, sepatu, dan lainnya) 37,2%, software 33,5%, kosmetik 12,6%, makanan minuman 8,5% dan produk farmasi palsu 3,8%.
Sebelumnya pada tahun 2012 rincian barang-barang palsu itu meliputi produk farmasi (3,5%), kosmetika (6,4%), oil (7%), minuman (8,9%), rokok (11,5%), elektronik (11,7%), lampu (16,4%), spare parts (16,8%), pakaian (302%), software (34,1%) dan barang dari kulit (35,7%). Bahkan khusus sektor farmasi penelitian Masyarakat Indonesia Anti-Pemalsuan (MIAP) bersama FK Univesitas Indonesia menemukan dari 518 tablet berjenis sama, ternyata yang beredar di luar apotek 100% palsu.
Banyak peraturan yang mengatur seperti UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, dan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, tetapi belum efektif untuk menghempang arus produk palsu di Indonesia. Di luar deretan norma hukum yang ada, faktor kesadaran dan kecerdasan konsumen adalah cara ampuh melawan barang palsu.
=========
Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com