POST DATE | 21 Juli 2017
Pledoi, boleh jadi begitu identik sebagai kegiatan pembelaan di ruang-ruang pengadilan.
Membela orang yang didakwa di depan persidangan karena dianggap melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Pembelaan hukum dari satu kasus untuk menangani hanya satu kasus saja. Setelah itu selesai.
Nah, kalau ini yang dipahami sebagai makna pledoi maka bakal menyebabkan ruang pengadilan begitu sempit sebagai arena memperjuangkan keadilan itu. Ruang pengadilan bakal mematikan gagasan keadilan atas hukum dan sosial. Apalagi banyak orang pinggiran, adalah mereka yang buta hukum dan minim akses atas ruang pengadilan, konon pula keadilan.
Ruang pengadilan terlalu rapuh bagi orang lemah atau orang yang dilemahkan. Atas dasar itu pula pledoi tidak cukup kuat kalau dipersepsikan hanya dengan ruang pengadilan. Pledoi adalah pembelaan untuk mendapat keadilan, baik di dalam maupun di luar ruangan pengadilan.
Pledoi dapat diterjemahkan sebagai bentuk paradigmatik gerakan membela kaum pinggiran. Memaknai pledoi tidak cukup sekadar menelan bulat-bulat kata semantik dalam kamus hukum. Tetapi pledoi harus berada dalam bingkai tafsir yang lebih luas dan transformatif. Memperluas makna pledoi merupakan keniscayaan.
Pernyataan di atas hendak menjelaskan, di satu sisi makna pledoi sebagai bagian pembelaan hukum atas terdakwa di ruang pengadilan tetap sah. Tetapi di sisi lainnya cakupan pemaknaan pledoi harus dibuat lebih luas, agar proses pembelaan atas orang pinggiran di luar ruang pengadilan senyawa dengan makna aslinya. Pembelaan hukum atas orang pinggiran di ruang pengadilan tetap penting.
Begitupun membela di luar ruang pengadilan pun perlu dicari alternatifnya. Pilihan membela di luar ruang pengadilan dimaksudkan untuk memperluas akses kepentingan publik dalam memperoleh kebijakan yang lebih adil dan jauh dari diskriminasi. Memperkuat kapasitas publik agar lebih dinamis dan leluasa dalam mempengaruhi kebijakan, itu penting diperhatikan.
Membuat orang pinggiran tahu, menyadari, dan memahami akan haknya itu tentu sangat penting. Mereka berkemampuan mempertahankan sekaligus memperjuangkan haknya atas akses keadilan itu adalah tugas suci nan mulia.
Tetapi, kalau pengetahuan, kesadaran dan pemahaman itu berada sekadar di satu pihak, faktanya seringkali yang terjadi adalah konflik. Seorang Prita sangat tahu, sadar dan paham akan haknya itu. Lalu, tatkala haknya dilanggar dan kemudian Prita membuat itu sebagai suara orang pingggiran, pembuat kebijakan dan pemilik modal justru mengirim Prita ke jeruji besi. Begitu mahal ongkos sosial yang harus ditanggung Prita.
Pledoi dalam pada dasarnya merupakan respons pilihan pembelaan nonhukum dan di luar pengadilan melalui tulisan. Tulisan itu berupa kritik dengan cara menggelitik sekaligus membela orang pinggiran melalui penggunaan media tulisan di media massa, surat kabar, tabloid ataupun majalah.
Sasaran buku ini lebih menyuarakan orang-orang yang ada di pinggiran. Orang yang berada dipinggiran kekuasaan atau terpinggir karena ada kebijakan penguasa atau pasar yang membuat orang makin ke pinggiran.
Konstruksi sederhana menulis Pledoi Orang Pinggiran ini yakni mengajak pembaca untuk membuat rekaman sosial atas pelayanan penguasa dan pasar. Potret yang terlihat dari pelayanan publik dalam melakukan pledoi orang pinggiranmerupakan cuplikan sederhana dan langsung menyintuh kebutuhan atas pelayanan yang baik. Tidak cuma memunculkan masalah dan kritik, tetapi juga memberi solusi dan inspirasi.
Tidak Terjadi Lagi
Memperluas makna Pledoi Orang Pinggiran ini adalah refleksi sosial, mengkritik tapi menggelitik. Melalui berbagai kasus di lapangan, yang tersaji dalam berbagai tulisan, dicoba menguak maladministrasi pelayanan penguasa dan pelaku pasar. Titik terpenting yang dapat dikemukakan tulisan pledoi adalah menambah injeksi sosial guna membangkitkan dan menggugah semangat untuk tak pernah menyerah dan lelah membela kaum pinggiran itu.
Tahun 2009 telah berlalu, tahun 2010 baru saja dijejaki. Semoga cermin tahun ini, lebih indah dan cemerlang. Baju diskriminasi ditanggalkan, serpihan ketidakadilan ditinggalkan. Tahun 2010 ini, pelayanan publik harus jadi cermin utuh. Yang susah harus dibuat jadi begitu mudah. Listrik tidak lagi krisis. Masa kritis telah lewat, listrik tidak lagi byarpet. Air tidak lagi sekadar air menetes..tes...tes. Tarif murah telepon seluler harus dibarengi edukasi publik. Murah itu tidak lagi begitu identik dengan murahan?
Tahun 2010 ini, suguhan iklan harus makin sehat dan tidak ada lagi manipulasi. Semua yang buruk di tahun 2009 tak perlu diterjadi lagi. Tahun 2010 ini membangun energi positif di semua lini. Lalu, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika, Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus direvisi.
Cukuplah Prita Mulyasari, dan Luna Maya yang menghebohkan jagad hukum, karena UU ITE itu. Tak perlu lagi Prita lain yang dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan, Pasal 310 dan 311 KUHP. Eksistensi UU ITE secara telak telah menunjukkan betapa keberadaannya bisa membuat persoalan baru yang mencemaskan di ranah hukum.
Begitu mencemaskan, karena KUH Pidana, warisan kolonial Belanda menjerat pelaku pencemaran nama baik itu cuma 6 bulan. Tetapi hukum, produk era reformasi mengganjar sampai 6 tahun. Lebih celaka lagi, aparat penegak hukum atas dasar pendekatan legalistik formal dapat pula menahan para tersangka, seperti yang pernah dialami Prita Mulyasari.
Semua itu tak boleh terulang lagi. Selamat tinggal 2009 dan selamat datang 2010. Semangat untuk melakukan pledoi orang pinggiran tentu harus lebih bergairah lagi. Gelora darah pledoi orang pinggiran harus terus ditambah. Ya…pledoi orang pinggiran tak boleh berhenti.
========
Sumber: Analisa, 5 Januari 2010