POST DATE | 26 Juli 2017
RASULULLAH SAW bersabda, "Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat". Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?" Beliau menjawab, "Apabila suatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya, nantikanlah tibanya hari kiamat." (HR. Bukhari). |
Langkah proses suksesi kepemimpinan nasional bernama pemilihan umum (pemilu) makin dekat, malah tinggal menghitung hari. Prosesi itu ada yang menyebut sebagai pesta demokrasi/pesta rakyat. Agenda itu, tepatnya dilaksanakan 9 April 2014. Idealnya pemilu merupakan entry point (pintu masuk) untuk membentuk pemerintahan berwatak baik (good governance). Pemilu pula sekaligus memperkuat tali mandat rakyat kepada para pemimpin yang dikehendaki dan diidamkannya. Secara empiris, terlaksananya proses Pemilu 2014 dengan baik dan memuaskan apabila rakyat dapat mempengaruhi secara penuh penetapan para calon pemimpinnya. Tali mandat adalah proses dan langkah yang berkelanjutan. Mulai dari tahap proses awal sampai akhir Pemilu 2014 dengan penuh kesungguhan (kampanye, pencoblosan dan perhitungan suara, pemilihan legislatif-presiden). Karena itu tahapan Pemilu 2014 mestinya dirancang sebagai proses yang mencerminkan kesungguhan berdemokrasi di level nasional dan daerah. Jadi, letak penting agenda politik dan hukum pemilu sebagai arena seleksi pemimpin nasional dan lokal adalah guna menciptakan pemerintahan bersih, efektif dan dapat menyejahterakan. Seluruh partai politik didesak dan didorong agar memiliki komitmen yang tinggi untuk melakukan rekrutmen dan seleksi kepemimpinan nasional dan lokal yang kuat dan bersih. Momentum Pemilu 2014 harus diletakkan dalam konteks hak politik rakyat untuk menentukan pemimpin yang bersih dari KKN dan membawa daerahnya menuju fase baru ke arah lebih berkemajuan dan berkeadilan. Prosesi pemilu memerlukan elite nasional dan lokal yang berkarakter kuat, bermoral tinggi, tegas dalam mengambil keputusan dan bersikap, memiliki visi yang luas. Kemudian, mempunyai kemampuan kepemimpinan yang berkualitas dan benar-benar mencintai rakyat sebagaimana watak negarawan. Bukan para elite pemulung atau aji mumpung, bermental lembek dan kepemimpinan di bawah standar, bukan pula para pencari kerja (job seeker). Pemimpin yang secara terus menerus menebarkan kemaslahatan umum dan berbuat yang terbaik demi orang yang diwakilinya. Bukan tipe pemimpin yang semata mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Apalagi kalau cuma melakukan tebar pesona. Sekadar menyalurkan syahwat kuasa dan euphoria berjabatan. Pemimpin nasional dan lokal pasca Pemilu 2014 setidaknya harus mampu memenuhi tuntutan reformasi politik dan hukum. Reformasi yang menginginkan perubahan berjalan efektif, efisien, transparan, akuntabel, adil dan tanpa diskriminasi. Lebih dari itu, reformasi hukum juga harus memperhatikan prinsip tersebut, sehingga pemerintahan yang baik dan bersih benar-benar dapat diwujudkan. Masalahnya, ketika kekuasaan mengalami pergeseran dari bandul eksekutif ke legislatif ternyata bersamaan dengan itu pula penyakit KKN mengalami metamorfosis dalam bentuk demokratisasi dan distribusi korupsi. Penyakit bagi-bagi korupsi antara eksekutif dan legislatif dilakukan secara berjamaah. Jika dulu para birokrat di pemerintahan sangat terampil dalam bagi-bagi proyek, kini para anggota legislatif tidak kalah terampil dalam berebut proyek. Akhirnya, mereka lupa amanat rakyat yang memilihnya karena sibuk mengurus proyek-proyek baru. Syarat pemimpin, elite dan kekuatan-kekuatan masyarakat tersebut tidak tergoda untuk menjadikan Pemilu 2014 sebagai bisnis eceran politik ke wilayah publik. Pemimpin nasional dan lokal harus mampu mengemban mandat good governance. Atas dasar itu, masyarakat harus jeli dan cerdas dalam melindungi diri sendiri. Masyarakat harus lebih sensitif dan selektif dalam menyikapi setiap perilaku birokrasi dan politisi. Kolaborasi dan konspirasi birokrasi dan politisi bakal lebih banyak mengorbankan kepentingan warga. Karena itu warga harus lebih kritis untuk mengawal moral wakilnya di parlemen. Jangan terjebak pada janji manis belaka, tetapi miskin program yang signifikan dan konkrit. Teropong kembali jejak janji, tatkala mereka pernah memberi harapan yang lebih baik. Warga tidak boleh terlena dengan janji dan mulut manis calon anggota legislatif. Apakah masih ada para pemimpin mau melayani, peduli dan berpihak? Kalau tidak, sekali lagi, maka rakyat cuma memilih pemimpi, bukan pemimpin. Tak salah terdapat ungkapan: "Kalau gegabah dalam memilih, pemilu cenderung bakal berbuah pilu?" Apalagi kalau tak hati-hati menilai, jarak pemimpi dan pemimpin cuma setipis kulit bawang. Lalu, bagaimana dengan fenomena yang muncul, yaitu demokrasi semu dan praktik oligarki politik yang makin menguat? Politisi yang baik sulit lahir dari praktik demokrasi semu. Politisi yang berjuang untuk mengartikulasikan kepentingan publik makin langka. Politik kebajikan publik terabaikan. Tokoh bermental instan makin menyebar bahkan mendominasi jagat politik. Banyak elite politik korup. Praktik politik kebajikan tinggal menyisakan sekadar wacana dalam ilmu politik. Dalam perspektif kepemimpinan dalam Islam, ada hal berbeda yang harus dibawa dalam segala aspek kehidupan. Pemimpin dan kepemimpinan dimaksud mesti melekat dalam dirinya nilai-nilai illahiyah. Nilai yang merupakan rujukan/acuan yang harus senatiasa diaplikasikan secara komperehensif dalam kehidupan. Dalam visi kepemimpinan, ini menjadi sangat penting untuk dijadikan jati diri dan karakteristik kepemimpinan si pemimpin. Kalau dilihat dari karakter kepemimpinan setiap orang berbeda-beda gayanya. Ada yang otoriter. Ada yang demokratis. Ada yang khasrimatik atau apa pun namanya. Islam menawarkan tipe kepemimpinan yang khas, yaitu kepemimpinan profetik. Dimaksudkan dengan profetik ialah karakter kepemimpinan dengan ciri utama sederhana, jujur, tidak berorientasi kekayaan dan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Pemimpin dan kepemimpinan yang mampu mempercepat proses edukasi politik yang mencerahkan hati. Pemimpin yang mampu melakukan proses pencerdasan otak agar retorika politik berhenti memangsa akal sehat publik. Pemimpin yang baik adalah yang mampu menanam investasi kebaikan yang membahagiakan publik. Lalu, apakah masih ada calon pemimpin dengan karakter itu? Terserah masing-masing kita untuk menilainya! |
========
Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com