POST DATE | 03 April 2017
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No 43/PUU-XIII/2015 menyatakan, proses seleksi (rekrutmen) hakim pengadilan tingkat pertama merupakan kewenangan tunggal Mahkamah Agung tanpa harus melibatkan Komisi Yudisial. Sebelum putusan MK itu pada perubahan atas paket UU No 49 Tahun 2009, UU No 50 Tahun 2009, dan UU No 51 Tahun 2009 mengamanatkan agar proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama dilakukan secara "bersama" oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Putusan ini idem ditto dengan putusan No 005/PUU-IV/2006 yang menyatakan, pasal-pasal pengawasan Komisi Yudisial bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Meskipun demikian, harus dipahami menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat mengikat, final, dan mengikat, tak dapat dilawan secara hukum.
Namun, putusan MK ini semakin memangkas kewenangan Komisi Yudisial. Eksistensi UU No 18 Tahun 2011 sebagai upaya memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai lembaga negara independen yang menjalankan fungsi checks and balances di bidang kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia semakin sulit ditegakkan.
Padahal, kehadiran Komisi Yudisial dalam UUD 1945 itu tidak terlepas dari upaya untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Urgensi untuk memperkuat kekuasaan kehakiman itu sebagai konsekuensi logis dari dianutnya paham negara hukum (rechstaat) di Indonesia.
Memang masih tersedia tugas dan wewenang bagi Komisi Yudisial. Misalnya, melakukan seleksi pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung, melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, melakukan langkah-langkah hukum dan langkah lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, melakukan penyadapan bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dan melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi (Bambang Sutiyoso, 2011).
Selain itu, wewenang Komisi Yudisial adalah fungsi pengawasan eksternal terhadap Mahkamah Agung. Pengawasan adalah kata kunci yang menjadikan peran Komisi Yudisial amat strategis dalam menyukseskan agenda reformasi peradilan. Ketika Komisi Yudisial mampu melaksanakan hak dan wewenang ini dengan baik, maka kualitas para hakim yang merupakan "wakil Tuhan" untuk memutus suatu perkara benar-benar terjamin (Nur Afilin, 2015).
Prinsip utama pengawasan oleh Komisi Yudisial bertujuan agar semua hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Dengan demikian, hakim yang bersangkutan telah menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Soekotjo Soeparto, 2009).
Adanya kehormatan dan keluhuran martabat kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan, yang sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun etika.
Posisi Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan hakim perlu memperhatikan apakah putusan yang dibuat telah sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan yang timbul dari masyarakat. Selanjutnya, demi keluhuran martabat hakim, Komisi Yudisial harus mengawasi apakah profesi hakim itu telah dijalankan sesuai etika profesi dan memperoleh pengakuan masyarakat.
Tujuan lain pengawasan itu, menjaga agar para hakim tetap dalam hakikat kemanusiaannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela.
Karena itu, jika Komisi Yudisial tidak kuat dalam mengawal, bukan mustahil supremasi hukum di Indonesia tak lagi mengenal dan menerapkan prinsip keadilan. Komisi Yudisial diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan itu berintegritas tinggi, jujur, dan profesional sehingga memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan para pencari keadilan (Jawahir Thontowi, 2011).
Jika merujuk pada UU No 18 Tahun 2011 ada beberapa penguatan kewenangan Komisi Yudisial dalam melaksanakan tugas, di antaranya Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung dari daerah, dan dalam rangka menjaga dan menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Pasal 20 ayat [3]).
Komisi Yudisial dapat melakukan penyadapan jika menemukan indikasi pelanggaran kode etik oleh hakim. Namun begitu, dalam proses pelaksanaannya, kewenangan penyadapan itu tidak berjalan efektif. Walaupun disebutkan Komisi Yudisial punya wewenang meminta penyadapan terhadap hakim melalui aparat penegak hukum, tetapi aparat penegak, seperti kepolisian, justru punya pandangan berbeda. Komisi Yudisial tidak boleh menyadap karena bukan lembaga pro-justisia.
Intinya, penyadapan hanya dilakukan oleh aparat penegak hukum. Tindakan merekam pembicaraan hakim hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum. Namun, penting untuk dicatat Pasal 20 ayat (4) menetapkan aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial tersebut.
Masalah lain yang perlu dituntaskan adalah tafsiran kewenangan pengawasan perilaku hakim (ranah kode etik) yang sering dibenturkan dengan terminologi teknis yudisial/yustisial (ranah teknis peradilan). Apalagi dalam pelbagai kasus, Mahkamah Agung masih banyak memeriksa hakim, padahal Komisi Yudisial sudah lebih dahulu memeriksa dugaan pelanggaran kode etik.
Tanpa ada penyamaan persepsi norma Pasal 20 ayat (3) UU No 18 Tahun 2011, pelaksanaannya tetap akan menjadi polemik yang tak berkesudahan. Rumusan hukum sudah jelas memberi kewenangan Komisi Yudisial melakukan penyadapan. Bahkan aparat penegak hukum wajib menindaklanjutinya (Pasal 20 ayat [4]).
Mengenai pemaknaan perilaku hakim dibenturkan dengan teknis yudisial sangat mendesak untuk disudahi. Rekomendasi sanksi masih banyak yang diabaikan Mahkamah Agung. Eksesnya adalah Komisi Yudisial tidak kelihatan giginya. Para pencari keadilan banyak dirugikan akibat penyempitan makna perilaku hakim dibenturkan dengan term teknis yudisial.
Untuk mengatasi beda tafsir batasan "perilaku hakim", Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung perlu duduk bersama untuk mencari titik temu. Titik temu yang bertujuan agar Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dapat saling menguatkan untuk mewujudkan wibawa peradilan.
Jika kewenangan menyadap terus dipolemikkan, batasan perilaku hakim tetap dipertentangkan dengan konsepsi teknis yudisial atau rekomendasi sanksi lebih banyak diabaikan, niatan memperkuat Komisi Yudisial sepertinya harus melewati jalan terjal.
================================
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/01/04/o0ezc8-memperkuat-komisi-yudisial