post.png
farid_wajdi_berbicara.jpg

Memperkuat Peran Komisi Yudisial

POST DATE | 10 Juli 2017

Secara filosofi-yuridis Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 adalah sebagai landasan penguatan wewenang Komisi Yudisial. M. Nasir Djamil (2015) mengatakan bahwa sebab utama perubahan UU Komisi Yudisial, adalah sebagai respon sesuai dengan aspirasi masyarakat untuk penguatan terhadap kelembagaan Komisi Yudisial. Beberapa alasan perubahan UU KY tersebut, antara lain;

  1. Komisi Yudisial merupakan lembaga konstitusional yang langsung disebutkan dalam UUD 1945. Oleh itu, Komisi Yudisial harus memiliki kewenangan yang kuat.
  2. Kondisi darurat hukum, karena mafia hukum dan peradilan masih merajalela serta belum mampu dituntaskan dengan baik.
  3. Tuntutan masyarakat yang menginginkan penguatan Komisi Yudisial.
  4. Penguatan KY yakni dalam hal pengawasan perilaku dan etika hakim, dan tidak masuk dalam ranah putusan hakim.

Eman Suparman seperti dikutip Dwi Fitriyani (2013) mengatakan bahwa Undang-Undang No. 18  Tahun  2011 memberikan beberapa penguatan kewenangan Komisi Yudisial dalam melaksanakan tugas, di antaranya Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung dari daerah, kode etik hakim sebagai pedoman Komisi Yudisial, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan kepada hakim.

Setelah Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 terbit, masalah yang menyangkut tentang pengawasaan dapat terselesaikan. Momentum itu terlihat pada Pasal 20 menyangkut tentang pengawasaan serta dihapusnya berbagai pasal-pasal  yaitu: Pasal 21, 23 dan 24. Substansi Pasal 20 Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 berkenaan dengan tugas pengawasaan hakim lebih rinci dijelaskan mengenai tugas pengawasan hakim. Undang-Undang  No.   18   Tahun   2011   menambah 2 (dua) wewenang baru Komisi Yudisial, yaitu: (a) Menetapkan Kode Etik dan atau pedoman perilaku hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung, dan (b) Menjaga  dan  menegakkan  pelaksanaan Kode  Etik  dan  atau  pedoman perilaku hakim.

Sebenarnya telah ada optimalisasi pengawasan hakim selama ini, yaitu Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/ 2009 tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim.

Kode etik dan pedoman perilaku hakim yang merupakan pegangan bagi para hakim seluruh Indonesia serta pedoman bagi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan internal maupun eksternal. Kode etik dan pedoman perilaku  hakim  ini  juga merupakan  panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.

Selain itu, dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan Kode  Etik  dan  pedoman perilaku hakim Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegakan hukum untuk  melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan pedoman perilaku hakim.

UU Komisi Yudisial baru memberikan penguatan pada kelembagaan Komisi Yudisial tersebut, dapat menjadikan KY sebagai lembaga yang lebih berwibawa dalam rangka mendorong reformasi peradilan. Konsep pengawasan pun tidak hanya seperti pemadam kebakaran, yang hadir ketika api sudah menyala, tetapi mulai dari awal semisal rekrutmen. Konsepsi perubahan itu jelas dapat memperkuat dan sejalan dengan fungsi Komisi Yudisial.

Kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi pengawasan adalah sebagai upaya untuk mengatasi berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan. Prosesnya harus dimulai dengan mengawasi perilaku hakim, agar para hakim menunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Oleh itu, apabila fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu berjalan efektif tentu dapat mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim untuk senantiasa menjalankan wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama kekuasaan kehakiman sesuai dengan kode etik, code of conduct hakim dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Urgensitas dari Komisi Yudisial berada dalam bingkai upaya mendukung penegakan hukum di Indonesia.

Pengawasan oleh Komisi Yudisial ini pada prinsipnya bertujuan agar hakim agung dan hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim.

Apabila hakim agung dan hakim menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan benar, berarti hakim yang bersangkutan telah menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Soekotjo Soeparto, 2009)

Adanya kehormatan dan keluhuran martabat kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan, yang sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika.

Untuk itu, diperlukan suatu institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim, yang dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung, yaitu Komisi Yudisial.

Jadi, apabila ada institusi independen semacam Komisi Yudisial ini mampu melakukan proses seleksi dengan lebih baik dan menghasilkan para hakim, pasti kekuasaan kehakiman dapat memenuhi kriteria integritas, independensi dan kapabilitas serta rendahnya politisasi dalam proses pemilihan (Idul Rishan, 2013).

Melalui institusi pengawas ini aspirasi masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para hakim agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika.

Posisi Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, perlu memperhatikan apakah putusan yang dibuat telah sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan yang timbul dari masyarakat. Selanjutnya, untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim Komisi Yudisial harus mengawasi apakah profesi hakim itu telah dijalankan sesuai etika profesi dan memperoleh pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan menjaga agar para hakim tetap dalam hakekat kemanusiannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela.

Dengan demikian, profesi hakim dituntut untuk menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Kehormatan adalah kemulian atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para Hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan.

Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan yang timbul dari masyarakat.

Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat yang merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh Hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. Hanya dengan sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran martabat Hakim dapat dijaga dan ditegakkan.

 

========

Sumber: Waspada,  November 2015



Tag: Komisi yudisial, ,

Post Terkait

Komentar