post.png
salah_ketik.jpg

Mencegah Kesalahan Ketik

POST DATE | 19 April 2017

Preseden kesalahan pengetikan pada putusan atas uji materi Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan penyebutan "Dewan Perwakilan Rakyat Daerah", bukan "Dewan Perwakilan Daerah" berekses panjang. Putusan tersebut berujung pada kemelut kepemimpin di Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Terlepas dari kemelut di DPD, yang pasti keagungan Mahkamah Agung (MA) kembali terusik. Ini karena Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman kembali menjadi sorotan publik.

Kesalahan pengetikan pada uji materi DPD tidak berdiri sendiri. Kasus salah ketik putusan sudah jamak terjadi di MA. Boleh jadi kasus ini cuma puncak gunung es untuk masalah yang sama.

Rangkaian salah ketik di Mahkamah Agung sudah cukup panjang. Sebelumnya terjadi salah ketik pada putusan kasasi kasus Yayasan Supersemar pada tahun 2013. Yayasan itu harusnya dihukum membayar Rp 185 miliar tapi pada saat salinan putusan putusan itu berubah menjadi Rp 185 juta. Kesalahan pengetikan kali ini dianggap cukup fatal.

Tidak hanya pada bunyi putusan, MA juga pernah melakukan salah ketik dalam penanggalan putusan. Salah ketik itu terjadi dalam putusan perkara utang piutang dengan pihak Agustinus Iramani vs Arie Yudhi Sadono, yang disebut bertahun 2020. Didapati pula salah ketik pada petikan putusan perkara Nomor 2341 K/PID.SUS/2012. Kesalahan pengetikan terjadi pada penulisan tanggal musyawarah, tertulis Selasa, 26 Februari 2012, padahal semestinya musyawarah dilakukan pada Selasa, 26 Februari 2013. Atas kesalahan ketik ini, keluarlah putusan jilid dua dengan menyantumkan tanggal musyawarah hakim pada Selasa, 26 Februari 2013. Salah ketik juga pernah terjadi pada saat penomoran perkara Susno Duadji. Selain itu, masih ada lagi kesalahan pengetikan ketika Mahkamah Agung mengadili perkara pembagian harta warisan Andi Manggazali.

Daftar panjang kesalahan ketik dalam putusan menunjukkan memang lazim terjadi. Dalam term doktrin hukum acara, dikenal apa yang disebut Clerical Error. Bagi Sudikno Mertokusumo, kesalahan dalam penulisan menunjukkan kekurang telitian hakim. Sebab saat putusan telah ditulis dan siap diteruskan ke pemohon, hakim mesti menandatangani minuta putusan (master arsip). Intinya, adalah ketika menandatangani, hakim mesti mencermati lagi.

Jika demikian, yang patut ditelusuri bagaimana kebijakan MA yang dapat meminimalkan kesalahan penulisan? Terhadap konsekuensi kesalahan pengetikan menurut M. Yahya Harahap, masih mungkin dapat ditoleransi yakni jika sepanjang secara substansial tidak menimbulkan masalah pokok menjadi masalah lain. Tetapi jika secara substansial memunculkan masalah lain itu tidak dapat ditolerir, invalidated.

Menurut Benyamin Mangkudilaga (2013) jika salah ketiknya mempengaruhi substansi, dan mengubah hukumannya berarti harus dilakukan Peninjauan Kembali (PK). Sebaliknya, jika kesalahan tulisan tidak mempengaruhi hukuman, putusan dapat direvisi lewat renvoi.

Pengalaman Komisi Yudisial

Preseden salah ketik MA dari 10 tahun perjalanan Komisi Yudisial dan pengalamannya dalam menangani laporan pengaduan dari masyarakat tentang pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Ada banyak modus dan bentuk pelanggaran yg bisa dibahasakan dominan terjadi. Di antaranya adalah "salah ketik". Tentu saja salah ketik itu adalah bentuk temuan yang tetap menjadi tanggung jawab hakim dan letaknya ada di dalam putusan.

Pengalaman menunjukkan bahwa, salah ketik seringkali terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu (1) salah ketik yang tidak memiliki dampak signifikan, biasanya terjadi pada kepala putusan. (2) Salah ketik dengan dampak signifikan dominan terjadi pada pertimbangan hakim dan amar putusan.

Praktik di Komisi Yudisial, terhadap keduanya, dinilai sejauh mana tanggung jawab dan seberapa besar kontribusi kesalahan hakim pada "salah ketik" dimaksud.

Sejauh ini, terhadap 2 klasifikasi bentuk kesalahan dimaksud tetap dijatuhi sanksi dari mulai ringan (untuk yang tidak memiliki dampak) dan sedang sampai dengan berat (untuk yang memiliki dampak signifikan).

Bagi Komisi Yudisial, salah ketik tidak dapat dianggap sebagai kesalahan sepele. Karena seringkali berujung pada nasib para pencari keadilan. Pada preseden internasional, salah ketik dianggap sebagai administratif failure dengan dua perlakuan utama, yaitu: (1) Langsung diperbaiki atau (2) Dikenakan sanksi. Administratif Failure tadi tentu lebih punya bobot untuk diberi sanksi apabila menjadi sebuah praktik buruk yang terus berulang serta terus terjadi pada pelaku/hakim yang sama.

Terbukti atau tidak ada kesalahan hakim dalam preseden kesalahan ketik sesungguhnya yang dipertaruhkan adalah maruah lembaga peradilan. Ada ungkapan kesalahan ketik itu hal biasa, sebab hakim bukan makhluk yang bebas dari kekeliruan. Masalahnya, bagaimana jika kesalahan ketik itu terus terulang? Tiada alasan, MA wajib proaktif membenahi kekeliruan tardisi kesalahan ketik. MA harus menghindari vonis kesalahan ketik seperti hobbi. Mahkamah Agung tidak boleh menggunakan tameng “teknis yudisial” untuk mengindari sanksi pelanggaran kode etik. 

Kritik atas ketidakmampuan membenahi adminsitrasi peradilan oleh Mahkamah Agung bukanlah bermaksud mengganggu indepedensi peradilan. Pada konteks ini urgensi akuntabilitas dalam lembaga peradilan menurut Paulus E Lotulung (2013) jadi sangat relevan. Kebebasan dan independensi peradilan harus diikat dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas. Keduanya itu, pada dasarnya merupakan kedua sisi koin mata uang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability).

Tanggung jawab peradilan termasuk adalah "social accountability” (pertanggungjawaban pada masyarakat), karena pada dasarnya tugas badan-badan kehakiman  atau peradilan adalah melaksanakan public service di bidang hukum guna memberikan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

http://cdn.klimg.com/dream.co.id/resources/news/2015/02/01/9855/664xauto-gara-gara-salah-ketik-bisnis-keluarga-124-tahun-bangkrut-150201b.jpg

Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi dan peran hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang.

Bagi lembaga peradilan dan hakim sikap professional harus terus terpelihara dengan selalu meningkatkan keahlian. Baik berkaitan dengan keahlian ini meliputi keahlian substantif dan prosedural. Kesalahan atau kelalaian menerapkan keahlian substantif maupun prosedural merupakan kesalahan professional (unprofessional conduct).

Karena itu internalisasi dari tanggung jawab moral hakim harus melekat tujuan akhir profesi hakim yaitu ditegakkannya nilai kemanusiaan (humanity), nilai keadilan (justice) dan kepastian hukum (gerechtigheid) dalam lingkup nilai moralitas umum (common morality).

Apalagi tugas utama hakim adalah menegakkan keadilan, selain kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Menurut K. Wantjik Saleh (1977) pekerjaan hakim berintikan keadilan. Makna keadilan dimaksudkan bukan keadilan menurut bunyi perkataan undang-undang semata (let’terknechten der wet) semata, melainkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Karena itu bagi Antonius Sudirman (2007) setiap kali hakim memutuskan suatu perkara selalu didahului dengan ucapan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat yang bermakna bahwa selain bersandar pada undang-undang, tetapi juga harus sesuai dengan hati nuraninya yang tulus. Hakim tidak boleh mengabaikan suara hati nuraninya demi mencari keuntungan materiil bagi diri sendiri, memberi kepuasan bagi penguasa, menguntungkan kaum powerfull (secara politik dan ekonomi), atau demi menjaga kepastian hukum semata.

Jadi, hakim yang baik akan selalu menempatkan putusan hukum yang dijatuhkannya sebagai penjaga martabat kearifannya. Putusan itu pula yang menunjukkan jati diri, keberadaan dan kemampuannya. Reputasi seorang hakim terpantul melalui putusan hukumnya. Seorang hakim sejatinya tidak pernah dan tidak mungkin mampu untuk bermain-main dengan putusan hukumnya sendiri. Hakim tidak boleh salah dalam membuat putusan, termasuk kesalahan ketik. Apalagi hakim bukan sedang membuat skripsi, yang senantiasa boleh diperbaiki!

 

=======================

Waspada, Rabu 19 April 2017

*Penulis adalah Anggota Komisi Yudisial RI 2015-2020, Dosen UMSU



Tag: Komisi yudisial, Salah ketik, Kesalahan, Ketik

Post Terkait

Komentar