post.png
fasilitas_publik.jpg

Menggugat Utilitas Fasilitas Publik

POST DATE | 27 April 2017

Semakin sulit untuk dimengerti polemik pengalihan arus Jalan Raden Saleh, -satu atau dua arah-, makin melebar ke mana-mana dan terkesan liar. Substansi mengenai utilitas lalu lintas ruas jalan itu makin terpinggirkan. Hak masyarakat terabaikan. Polemik makin riuh, karena belakangan muncul perang opini menyangkut dimensi sponsorship dibalik setiap kebijakan. Kini, arus lalu lintas Jalan Raden Saleh menjadi satu atau dua arah, dipastikan bakal diikuti tudingan minor.

Memang menjadi ironik kalau fasilitas publik seperti jalan raya dengan fungsinya sebagai arena dan sarana lalu lintas mobilitas sosial-ekonomi, dilakukan perubahan arah tanpa mempertimbangkan utilitas transportasi. Belajar dari proses perubahan kebijakan arah jalan, -apakah satu arah atau dua arah- sebelumnya mengesankan dilakukan secara tidak matang dan emosional. Malah beberapa kasus menunjukkan perubahan arah jalan misalnya selalu berubah seiring dengan adanya pejabat yang berubah.

Suasana demikian tentu tidak sehat atau kontraproduktif dengan niatan penyelenggaraan Negara yang sehat dan baik. Jadi, agar ada pola kebijakan yang lebih memiliki kekuatan yuridis, sebaiknya setiap perubahan arah jalan harus disertai dengan adanya penetapan hukum dari legislatif melalui peraturan daerah. Proses kebijakan yang berkesinambungan, setidaknya dapat menggambarkan adanya sikap ketaatan pada sistem yang baik, hingga vonis ‘pejabat baru, kebijakan baru’ terhindarkan. Konon lagi, kalau perubahan arah jalan itu selalu mengundang kontroversi. Sebab aroma yang merebak adalah adanya sponsorship kepentingan pada setiap pengambilan kebijakan.

Agak miris bahwa di tengah perkembangan teknologi dan kemajuan pembangunan fisik saat ini masyarakat kota Medan masih sangat terbelakang dalam hal utilitas sarana dan prasarana transportasi. Hal ini tercermin dari perilaku penggunaan jalan yang karena sikap egois orang-orang atau kelompok tertentu seringkali tidak menempatkan jalan ataupun fasilitas publik lain pada fungsinya sebagai arena dan sarana lalu lintas mobilitas sosial-ekonomi. Jalan sebagai fasilitas publik begitu mudahnya diotak-atik. Kesannya tanpa rencana dan dilakukan dengan manajemen ’suka-suka’.

Setidaknya hal itu terlihat, ketika kebijakan bolak-balik arah Jalan Raden Saleh. Padahal siapapun warga kota ini tahu bahwa perubahan jalan tersebut berakibat kemacetan luar biasa karena tidak diperkirakan pengguna jalan raya sebelumnya. Jalan Raden Saleh, merupakan pusat aktivitas lalu lintas inti kota yang sangat vital di Kota Medan, sehingga begitu ada gangguan di salah satu sarana jalan raya yang bersinggungan dengan kawasan itu, dapat dipastikan siklus gangguannya juga sangat besar, seperti terjadi kemacetan di mana-mana dengan segenap potensi kerugian sebagai ikutannya.

Oleh karena itu, manakala ada upaya dan tindakan untuk memutus akses warga masyarakat untuk menjalani aktivitas sosial-ekonomi dan berpotensi rugi atau kehilangan keuntungan bagi warga, maka sesungguhnya hal itu tergolong sebagai perbuatan melawan hukum disebabkan penyalahgunaan fasilitas publik. Penyalahgunaan itu bisa  saja terjadi akibat penyalahgunaan wewenang oleh oknum birokrasi pemerintahan (pejabat berwenang) atau proses kebijakan yang tidak cerdas.

Sikap pejabat di kota ini jelas. Karena itu, inilah saatnya warga kota ini tak sekadar bersuara lantang. Warga mesti kompak untuk menunjukkan eksistensinya. Paksa wakil rakyat di DPRD untuk mendengar dan memperjuangkan aspirasi konstituen. Ketika suara tak lagi didengar, langkah nyata harus ditempuh. Jalan Raden Saleh, jangan pula disulap (maaf..!!) menjadi Raden Salah..!!!

Para birokrat, pejabat, wakil rakyat dan cendikiawan perlu melupakan segala dalih. Polemik Jalan Raden Saleh tak membuat warga untung, malah lebih banyak menguras energi dan pikiran. Desakan agar fungsi fasilitas publik disesuaikan dengan tujuan dasar, jangan dianggap angin lalu. Kini, semuanya menjadi gamblang. Adalah lebih penting mencari jalan terbaik guna mengatasi polemik itu. Sebab jalan Raden Saleh, bukanlah jalan yang tak ada ujung.

 

Malapraktik pelayanan umum

Penyalahgunaan fasilitas publik (sosial dan umum) tersebut dapat digolongkan sebagai malapraktik pelayanan publik. Karena mengandung tindakan salah atau mengandung unsur kesalahan baik karena kesengajaan ataupun kelalaian dalam menjalankan tugas dan wewenang yang ada pada instansi yang memiliki otoritas untuk itu.

Diakui maraknya pemberitaan media yang mengungkap dugaan soal disfungsi atau malapraktik pada penggunaan jalan umum atau fasilitas umum atau hak publik lainnya, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat atas hak-hak publiknya untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik jauh meningkat. Di sisi lain, ada kesadaran bahwa sebagai warga yang baik dan telah pula menunaikan segala kewajibannya seperti; membayar pajak atau retribusi, tentu berhak pula mendapatkan pelayanan setimpal sebagai kontra prestasi atas prestasi yang telah dilakukannya.

Namun sebagian besar kasus penyalahgunaan fasilitas publik tersebut masih menumpuk dan belum ada penyelesaian dengan alasan belum dimilikinya aturan hukum yang jelas mengenai penyelesaian sengketa pelayanan umum dan ketentuan mengenai sanksi. Kondisi itu tentu kurang memuaskan. Sebab untuk jangka panjang dalam rangka minimalisasi pelanggaran penyalahgunaan hak-hak dasar publik harus ada semangat bersama untuk membuat regulasi yang mengikat tanggungjawab pemerintah secara konkrit. Hak itu dilakukan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan standar proporsional dalam ukuran umum.

Pengaturan dimaksud setidaknya mencakup kewajiban dan tanggungjawab pemerintah untuk melaksanakan pelayanan umum dalam sektor-sektor tertentu terkait dengan hak-hak dasar warga negara, mekanisme standar pelayanan umum, serta mekanisme komplain dari warga negara atas tidak terpenuhinya standar pelayanan umum

Keberadaan regulasi tersebut secara hukum berimplikasi terhadap setiap warga negara untuk menggugat pemerintah apabila pemerintah lalai ataupun sengaja tidak melaksanakan tanggungjawab dan kewajiban atas pelayanan umum yang baik dan layak. Namun demikian, sambil menunggu regulasi sebagaimana dimaksud ada, sesungguhnya secara hukum perdata tindakan malpraktik pelayanan umum, termasuk tindakan balik-balik merubah arah jalan sebagai bagian sarana atau fasilitas umum dan masyarakat merasa dirugikan akibat malpraktik itu. Terhadap hal itu masyarakat tersebut dapat mengajukan gugatannya ke pengadilan. Tujuan mengajukan gugatan tersebut adalah untuk mendapatkan ganti rugi akibat kelalaian atau kesengajaan dalam melakukan pelayanan umum. Dengan demikian, di kemudian hari kasus serupa tidak terulang lagi dan jadi pelajaran berharga bagi semua pihak.

 

Studi Kelayakan

Guna kemaslahatan umum setiap rencana kebijakan berdimensi publik harus didasarkan pada kepentingan orang banyak dan mesti didahului oleh adanya studi kelayakan. Pertimbangan matang dan pemikiran jernih secara komprehensif harus digunakan sebagai indikator penting untuk mendudukkan setiap masalah.

Jangan karena ada pesan sponsor atau intervensi dari berbagai kalangan terhadap pengambilan kebijakan, lalu kepentingan umum dikalahkan oleh pihak ‘ketiga’, padahal dimensi kepentingan publiknya sangat minimal.

Sorotan yang paling mengemuka dewasa ini adalah proses terhadap pengambilan kebijakan. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap struktur birokrasi atau lembaga pemerintahan antara lain karena belum atau tidak transparannya proses pengambilan keputusan.

Sudah menjadi rahasia umum, belum berfungsinya lembaga negara dalam mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan professional. Tidak saja disebabkan oleh adanya intervensi dari berbagai kalangan terhadap suatu putusan. Tetapi juga karena kualitas, profesionalitas, moralitas dan akhlak aparat negara yang masih rendah.

Dalam proses penentuan kebijakan publik, sejauhmana kepentingan dan aspirasi publik diakomodasi? Siapa saja yang secara sungguh-sungguh dan konsisten yang dilibatkan dalam penentuan kebijakan publik? Bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam penentuan kebijakan publik menunjukkan keberpihakan pada upaya peningkatan penyehatan pelayanan publik?

Jelas dan nyata terlihat, semua kalangan ‘elit’ (birokrasi dan politisi) hanya asyik bermanuver untuk memenangkan kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya. Bahwa jika pun ada suara untuk (seolah-olah) mengakomodasi kepentingan publik, itu pun dilakukan hanya sekadar memenuhi komoditas publik (politis) belaka. Tidak untuk dalam rangka pelibatan partisipasi publik dalam penentuan kebijakan publik secara sungguh-sungguh.

Untuk memulihkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengambilan kebijakan perlu dihindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Kiranya ke depan setiap proses rancangan kebijakan masih perlu didukung dengan pengaturan mekanisme pertanggungjawaban lembaga pemerintah kepada publik. Lalu, ada kemudahan akses masyarakat untuk memperoleh setiap rencana putusan yang ada.

Seterusnya harus dilengkapi partisipasi masyarakat dalam melaksanakan pengawasan terhadap proses keputusan secara transparan, sesuai dengan konsep good governance. Pertanyaan sederhana, apakah dalam penentuan, satu atau dua arah, Jalan Raden Saleh telah melewati proses dan syarat di atas? Harus jujur, karena kemaslahatan umum jauh lebih penting dari sekadar kajian akademis atau memenuhi kemauan sponsorship belaka.

 

==========================

Sumber  : Analisa, 22 Februari 2008



Tag: Birokrasi, Fasilitas, Publik, Menggugat

Post Terkait

Komentar