POST DATE | 04 April 2017
Mengonsumsi pangan yang halal dan thoyyib (baik, sehat, bergizi dan aman) adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Seorang Muslim diwajibkan mengonsumsi sesuatu yang halal, baik itu makanan maupun minuman (QS. Al-Baqarah: 168, 172-173, QS. Al-Maidah: 1-5, QS. Al-An’am: 121). Deretan ayat itu berkaitan dengan urgensi dari keniscayaan mengonsumsi produk halal.
Selain itu ada UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). UU JPH adalah norma yang di dalamnya berisi ketentuan bagaimana menjamin kehalalan produk yang dinamakan Proses Produk Halal (PPH). Rangkaian kegiatan PPH mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.
Melaksanakan UU JPH berarti juga menegakkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen: “Perlindungan konsumen bertujuan mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa”.
UU JPH secara yuridis mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Jaminan mengenai produk halal dilakukan sesuai asas perlindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas.
BPJPH adalah Badan Pelaksana Penyelenggaraan JPH. Wewenang yang dimilikinya meliputi penetapan kebijakan dan aturan JPH, mengurus Sertifikat Halal dan Label Halal, melakukan edukasi dan publikasi Produk Halal, dan mengakreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Dalam menjalankan wewenangnya, BPJPH melakukan berbagai hal (Pasal 7 UU JPH). BPJPH harus melaksanakan pengawasan terhadap LPH, memastikan masa berlaku Sertifikat Halal, kehalalan produk, pencantuman label halal, pencantuman keterangan tidak halal. Kemudian melakukan pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara produk halal dan tidak halal.
Di samping itu BPJPH bertugas untuk memastikan keberadaan penyelia halal (orang yang bertanggung jawab terhadap PPH) agar sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Selain itu BPJPH juga melakukan kerjasama dengan MUI dan LPH.
Kerjasama dengan MUI berupa sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk, dan akreditasi LPH.. LPH yang telah diakreditasi kemudian bekerjasama dengan BPJPH dalam melakukan pemeriksaan/pengujian produk. LPH dan Auditor Halal yang ada sebelum UU ini disahkan tetap diakui dan wajib menyesuaikan dengan UU ini maksimal 2 (dua) tahun setelah diundangkan.
Keberadaan UU JPH diharapkan dapat memberi jaminan pada umat Muslim agar tidak salah mengonsumsi sebuah produk. Walaupun UU JPH telah disahkan, keadaan di lapangan masih kurang mendukung. Pasca-pengesahan UU JPH, signifikansi UU masih terasa belum maksimal. Sederhana saja, sampai saat ini menentukan mana produk yang halal bukan merupakan perkara mudah.
Bahkan meskipun UU JPH telah mewajibkan pelaku usaha untuk menyediakan pangan yang halal (Pasal 4), namun tidak ada jaminan bahwa semua pangan yang ada di pasaran adalah halal. Jelang setahun UU JPH disahkan, konsumen Muslim masih dituntut memilih mana pangan yang halal dan mana yang tidak?
Masalahnya, tidak mudah untuk memilih mana yang halal, mana yang haram dan mana yang meragukan (syubhat) mengingat dengan kemajuan teknologi banyak bahan syubhat yang tersembunyi di dalam produk pangan (Anton Apriyantono, 2015).
Apalagi soal produk halal bukan sekadar tentang status sebuah produk, melainkan juga sebagai salah satu kekuatan daya saing di pasar global. Banyak negara memunculkan visi halal seperti Halal Hub di Malaysia dan Dubai, Halal Kitchen di Thailand, dan Halal Port di Rotterdam sedangkan negara-negara lain sedang mempersiapkannya. Produk halal telah terbukti menjadi tambahan nilai dalam perdagangan komoditas internasional (http://nuranifkmui.com).
Oleh itu, sangat mendesak untuk melakukan upaya advokasi berupa edukasi jaminan produk halal, sehat dan berkualitas. Advokasi berupa edukasi-sosialisasi penting sebagai upaya penguatan hak-hak konsumen. Gagasan edukasi-sosialisasi halal dapat disampaikan secara luas kepada masyarakat. Misalnya melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi substansi produk halal.
Penting pula membuat gerakan peduli produk halal yang dapat dilakukan melalui koridor hukum resmi. Misalnya, bagaimana memberi bantuan sertifikasi halal kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Sebab, jika berpijak pada UU JPH semua produk harus bersertifikat halal.
Tetapi perlu disadari, tidak pula semua usaha kecil menengah paham dan mampu melakukan sertifikasi halal. Jadi, diperlukan tindak lanjut pemerintah dalam mengimplementasikan UU JPH. Langkah pertama adalah membentuk Peraturan Presiden tentang struktur, tugas, dan fungsi BPJPH sambil memulai membentuk perangkat badan yang diamanatkan UU JPH. Tetapi mengimplementasi UU JPH sepertinya masih sulit.
Ada beberapa pasal yang tidak sinkron satu sama lain. Misalnya Pasal 65 UU JPH, “Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Pasal 64 disebutkan, “BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Kedua pasal ini memiliki hubungan yang tidak logis. Waktu pembentukan BPJPH dijatah lebih lama dari penetapan pelaksanaan undang-undang, padahal yang memegang kendali terhadap pelaksanaan UU JPH adalah BPJPH.
UU JPH tidak akan bisa berjalan lancar jika badan yang menjadi kemudinya belum ada. Selain itu tidak akan ada yang memberikan pengakuan terhadap LPH dan Auditor Halal yang seharusnya sudah ada dalam waktu 2 tahun, jika BPJPH belum terbentuk.
UU JPH ini adalah kabar baik bagi semua pihak, yaitu konsumen dan pelaku usaha. UU JPH sama-sama menguntungkan. Pelaku usaha memiliki ketetapan aturan dan definisi produknya, dan konsumen mendapatkan perlindungannya (Bimo Prasetio, 2014).
Tetapi itu saja tidak cukup. Masyarakat Muslim harus meningkatkan perhatian dan lebih mawas diri dalam mengonsumsi kehalalan suatu produk (ada atau tidaknya sertifikat halal). Setiap Muslim harus menjadi halal auditor bagi pribadi, keluarga dan masyarakatnya masing-masing. Karena yang terpenting bukanlah mengkonsumsi produk yang bersertifikasi halal, namun konsumsi terhadap produk halal sesuai dengan syariat Islam.
Peran pemerintah, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi nonpemerintah mesti lebih dioptimalkan dalam hal advokasi sosialisasi, edukasi, pengawasan dan penindakan hukum jaminan produk halal.
====================================
Kamis, 3 September 2015