Salah satu daerah yang paling parah mengalami krisis listrik adalah Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Sejak tahun 2005, krisis listrik di Sumut tidak kunjung selesai. Lalu, sampai kapan krisis listrik bakal berakhir? Sulit untuk diprediksi. Wallahu’alam!
Janji pengelola PT PLN tak bisa dijadikan panduan. Janji banyak ditabur, tapi selalu dilanggar. Dampak yang terjadi adalah pemadaman bergilir. Pemadaman bergilir telah banyak merugikan pelanggan. Saat ini kebutuhan listrik Sumut sebesar 1.700 MW (megawatt), sedangkan kekurangan pasokan sekitar 330 MW. Jumlah ini di luar cadangan daya yang dibutuhkan sebagai cara untuk mengantisipasi jika terjadi gangguan pembangkit. Selain itu masyarakat di beberapa daerah juga sampai saat ini belum bisa
mendapatkan pasokan listrik selama 24 jam.
PT. PLN (Persero) adalah satu-satunya perusahaan penyedia listrik. Masalahnya sampai saat ini belum mampu memberikan pelayanan yang seimbang dengan kewajiban yang dibebankan kepada pelanggan atau konsumen. Selama ini pelanggan selalu dituntut untuk memenuhi kewajiban membayar tagihan listrik tepat waktu.
Situasi pemadaman bergilir memang sangat tidak adil. Bayar listrik tak boleh telat. Peralatan rumah tangga banyak rusak akibat pemadaman ini. Ekses pemadaman lain yang sangat fatal, yakni rumah, toko, gudang terbakar. Tak terkira lagi kerugian jiwa dan harta.
Kondisi pemadaman bergilir yang sudah abadi, rekening listrik pun terkadang masih menjadi persoalan. Hal ini disebabkan besarnya rekening listrik yang mesti dibayar warga terkadang membengkak dan tidak sesuai dengan pemakaian.
Padahal mestinya, pemakaian sedikit, bayar juga sedikit. Akibat pemadaman listrik pelaksanaan ibadah juga sangat terganggu. Seterusnya, lalu lintas kacau karena TL (traffic light) mati/tak berfungsi.
Menghadapi situasi semacam itu, logis rasanya bila masyarakat melakukan sedikit "perlawanan" dan tidak bersikap datar-datar (nrimo) saja. Tetapi begitupun, diakui bahwa datarnya sikap masyarakat konsumen tidak berarti menerima begitu saja pemadaman bergilir itu. Pada aspek tertentu dapat dipahami bahwa ketiadaan alternatif adalah kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak melakukan reaksi yang resisten sifatnya. Diam tampaknya menjadi pilihan yang rasional. Sebab, protes sekeras apa pun tidak akan cukup berarti untuk mengubah keadaan?
//Advokasi Konsumen//
Masalahnya adalah setiap kali berhadapan dengan produsen, masyarakat selalu berada pada posisi lemah. Karena itu, sikap yang cenderung pasrah atas kekuasaan produsen seakan-akan menjadi tipikal mayoritas masyarakat Indonesia. Apalagi bila produsen barang/jasa tersebut berupa badan-badan milik negara (BUMN) seperti Pertamina, PLN, dan PDAM.
Praktis, tumpuan masyarakat konsumen selama ini hanya bersandar kepada sejumlah lembaga swadaya pengadvokasi konsumen. Padahal, lembaga semacam itu bukan sosok pembela yang selalu dapat menuai kemenangan.
Ketiadaan kesadaran komunal ini menjadikan sulit mengharapkan ada sebuah gerakan konsumen yang mampu menaikkan posisi tawar masyarakat ketika berhadapan dengan produsen. Belajar dari persoalan PLN sekarang ini, misalnya, bentuk dukungan yang diberikan kepada lembaga konsumen terbilang sangat minim. Yakni sebatas mengadukan persoalan tanpa dibarengi kesadaran untuk melakukan tindakan lebih konkret.
Masyarakat dalam kasus pemafdaman bergilir dan juga beberapa kasus lain, tampak enggan untuk sedikit melibatkan diri dalam sebuah gerakan yang termobilisasi. Ajakan boikot bayar rekening justru seperti angin lalu. Atau pilihan boikot rekening listrik dianggap sebagai sikap konfrontatif, radikal? Oleh itu, ada anggapan boikot bayar rekening listrik adalah sebuah kekonyolan? Padahal mestinya adalah sebuah keniscayaan sebagai simbol perlawanan!
Proses hukum (gugatan class action, citizen lawsuite, legal standing, perdata konvensional) atau gerakan mobilisasi massa lain masih kurang mendapat respons yang positif dari masyarakat. Konsumen cenderung memilih menyerahkan urusan kontrol terhadap perilaku produsen kepada lembaga konsumen.
Dalam posisi seperti ini, yang dapat dilakukan lembaga konsumen secara maksimal hanyalah menjadikan setiap isu tentang kepentingan konsumen sebagai wacana/isu publik, seperti halnya kontroversi pemadaman bergilir.
Karena itu pula, keberadaan lembaga-lembaga konsumen tidak akan berarti bagi penguatan posisi tawaran masyarakat jika masyarakat itu bersikap apatis (niraksi) terhadap buruknya pelayanan publik.
Pengalaman hidup di bawah rezim politik yang meniadakan ruang gerak bagi mereka yang memiliki sikap kritis, telah membentuk semacam historical block yang menyebabkan masyarakat kerap tidak berdaya menghadapi kekuasaan. Termasuk melawan takdir pemadaman bergilir?
Tragisnya lagi, di tengah-tengah situasi ketidakberdayaan (powerless) masyarakat tersebut, tidak ada institusi politik yang secara sungguh-sungguh memayungi kepentingan masyarakat. Apakah pernah mendengar suara partai politik secara sungguh-sungguh yang membela hak konsumen? Kalau pun ada itu adalah selingan di masa kampanye. Praktis, tumpuan masyarakat selama ini hanya bersandar kepada sejumlah lembaga swadaya pengadvokasi dan media massa. Jujur saja, lembaga semacam itu bukan sosok pembela yang selalu dapat menuai kemenangan.
Sebagai pihak yang paling merasakan akibat langsung perilaku produsen, semestinya masyarakat paling berkepentingan untuk melakukan penggugatan-perlawanan bila hak-haknya tidak dapat dipenuhi produsen. Namun ketiadaan kesadaran komunal; ditambah keminiman pengetahuan hak-hak sebagai konsumen serta tidak terbiasanya masyarakat mengevaluasi secara kritis konsekuensi dari implementasi kebijakan (pemerintah), perlawanan atau penggugatan kepada produsen yang merugikan masyarakat kerap dilakukan secara sporadis-individual. Tetapi ini pun jarang pula terjadi!
Contoh ketika seruan boikot rekening listrik, misalnya, tidak akan cukup berarti bila masyarakat tidak mengikatkan diri pada kepentingan yang sama. Menjadi tidak mengherankan jika banyaknya lembaga swadaya advokasi konsumen tidak otomatis menumbuhkan kesadaran hak masyarakat konsumen yang sekaligus pula memperkuat posisi masyarakat di hadapan produsen.
Nampaknya perjalanan advokasi konsumen masih menemui jalan berliku dan terjal untuk menghela hak konsumen ke arah yang lebih bermartabat. Atau, jangan-jangan proses advokasi masyarakat masih berada di persimpangan jalan. Padahal yang lain telah sampai ke puncak suksesnya. Entahlah…
=========
Sumber: Waspada, 18 Agustus 2014
Tag:
Advokasi,
,