POST DATE | 05 April 2017
John Naisbit dalam Anwar (2007) mencatat bahwa pada era globalisasi masa kini segala sesuatunya sudah serba-teknologis. Serba-teknologi itu terutama terlihat dalam masalah gaya hidup (global lifestyle). Gaya hidup yang mengalami perkembangan dahsyat adalah berkenaan dengan makanan, pakaian dan hiburan.
Ia menyebutnya dengan istilah 3F. 3F dimaksud adalah food (makanan), fashion (pakaian) dan fun (hiburan). Jadi, pada era globalisasi, industri makanan di Indonesia mesti dapat meningkatkan daya saing melalui jaminan produk halal lagi baik. Produk halal berkaitan dengan jaminan bahwa produknya bergizi, enak, menarik dan bentuknya bagus. Seterusnya bersih, bebas dari segala yang membahayakan fisik
Kondisi mengenai makanan cukup memprihatinkan. Muchith A. Karim, (2013) misalanya mempertanyakan soal sederhana. Apakah setiap orang dapat mengetahui produk mana yang halal dan suci? Produk mana pula yang haram atau tidak suci?
Dengan kemajuan iptek dan kemampuan rekayasa luar biasa di bidang pengolahan pangan, obat dan kosmetika dewasa ini, kiranya cukup beralasan jika dikatakan bahwa untuk mengetahui kehalalan dan kesucian hal-hal tersebut bukanlah persoalan mudah.
Dengan kata lain, tidak setiap orang (Muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya. Sebab, untuk mengetahuinya, diperlukan pengetahuan cukup memadai tentang pedoman atau kaidah-kaidah syari'ah Islam
Memang ada peraturan atau norma hukum yang mengatur produk halal dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Kendati demikian, Umi Karomah (2009) menilai bahwa pelbagai peraturan berkaitan dengan label halal belum cukup kuat untuk mendorong adanya akses yang baik untuk memperoleh produk halal.
Selain itu, masih ada masalah berkaitan dengan ketiadaan peraturan penggunaan label halal standard/seragam. Eksesnya adalah di pasaran, pelaku usaha dapat secara bebas mencantumkan label halal dengan beragam/aneka bentuk. Ada yang berbentuk bulat. Ada yang datar. Ada yang bertuliskan huruf Arab. Ada pula yang bertuliskan huruf Romawi. Pengusaha diberi peluang menetapkan sendiri baik bentuk, warna, ukuran, gaya atau jenis tulisan dan bahan (Umi Karomah, 2009)
Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal
Secara logika, karena Indonesia mayoritas penduduknya Islam mestinya produk-produk yang dihasilkan pun harusnya otomatis adalah halal. Masalahnya fakta dipermukaan tidak sesederhana itu. Banyak produk yang dihasilkan pedagang atau produsen Muslim tidak selamanya halal, baik secara sadar maupun tidak.
Begitu pula dengan produk yang diproduksi secara massal oleh pabrikan. Potensi adanya bahan haram dalam proses produksi semakin besar. Biskuit misalnya, banyak sekali titik kritis yang harus dipastikan kehalalannya dalam proses produksinya.
Selain itu, masalah daging, baik daging sapi maupun ayam, juga harus diteliti kehalalannya. Pemeriksaan harus dimulai dari proses pemotongan hingga menjadi layak konsumsi. Jadi, walaupun pengusaha atau pedagang makanan/minuman itu Muslim tidak otomatis produk mereka halal.
Setiap konsumen punya hak untuk memperoleh jaminan bahwa semua produk yang dikonsumsinya adalah halal. Masalahnya memang tidak semua konsumen, seiring dengan rumitnya masalah teknologi pangan yang terus berkembang, dapat mengetahui kehalalan produk makanan.
Untuk mengatasi masalah itu telah ada upaya untuk menyusun suatu norma yang niatan dapat memudahkan akses atas produk halal. Menurut kajian BPHN-Departemen Hukum dan HAM RI (2006) sebenarnya di akhir tahun 2005 pemerintah Indonesia telah menyelesaikan naskah akademik RUU Jaminan Produk Halal (JPH). Penyusunan Naskah Akademik disokong oleh kajian UU dan bandingan hukum atas peraturan di negara lain.
Proses penyusunan Naskah Akademik ini menurut Aries Kurniawan (2007) telah melibatkan pakar dari kalangan ulama, akademisi, ilmuwan (scientist), praktisi hukum, pakar agama Islam, pelaku usaha/usahawan, sebagai narasumber melalui penyelenggaraan forum dialog, forum komunikasi, kajian lapangan, guna menjaring pandangan dan aspirasi dari semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Anton Apriyanto (2005) berpendapat bahwa untuk memudahkan akses atas produk halal dapat dilaksanakan pelbagai langkah. Pertama; adanya UU berkaitan dengan Jaminan Produk Halal. Kedua; adanya pihak berwenang yang mampu memeriksa kehalalan suatu produk. Ketiga; pemerintah menyusun daftar bahan mentah dan bahan penambah yang sudah diperiksa status kehalalannya. Keempat; adanya suatu standar dan Sistem Jaminan Halal.
Kalau mengikuti konstruksi berpikir di atas, maka pendekatan terbaik untuk memberi akses masyarakat atas produk halal adalah dengan mewujudkan RUU JPH kepada UU JPH. Sebab itu perlu dibuat UU khusus berkenaan dengan kemudahan memperoleh akases produk halal yaitu dengan mengesahkan RUU JPH.
Kasus biskuit mengandung babi, ditemukannya campuran daging babi pada bakso dan beberapa kasus lain merupakan contoh bahwa akses masyarakat sangat minim dan hak konsumen tidak terlindungi. Konsumen tidak tahu apakah makanan yang dikonsumsinya itu halal atau tidak. Ketidaktahuan konsumen ini seharusnya menjadi momentum bagi DPR untuk mempercepat penyelesaian RUU JPH.
RUU JPH dimaksudkan untuk menjamin kehalalan produk. Jadi, tidak ada lagi syubhat (keraguan) dalam makanan itu sehingga benar-benar halal untuk dikonsumsi. Konsumen Muslim mendapat haknya untuk mengonsumsi produk makanan/minuman halal terjamin. Tanpa RUU JPH tentu tidak ada yang menjamin kehalalan sebuah produk
Terakahir, DPR mestinya memberi kado manis kepada konsumen di akhir masa jabatan dengan mengesahkan segera RUU JPH dimaksud. Semoga…!
====================================
Waspada. Rabu, 18 Juni 2014