post.png
KORUPSI.jpg

Antara Seks dan Korupsi

POST DATE | 07 Juli 2017

Entah dari mana datangnya gagasan itu. Para perempuan di Desa Dado, Mindanao, Filipina Selatan, kompak tak mau melayani suami di ranjang bila para suami masih suka menggunakan senjata untuk menyelesaikan masalah.

Di daerah itu memang lazim terjadi konflik akibat perebutan tanah atau alasan lain dengan klan lain atau tetangga dekat. (Tempo, 03 Oktober 2011). Boikot tidak melayani suami yang dilakukan "para perempuan itu sangat pintar," kata Kitty McKinsey, juru bicara Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi (UNHCR) Kawasan Asia.

Gagasan ‘kompak tak mau melayani suami di ranjang’, guna minimalisasi potensi menggunakan senjata untuk menyelesaikan masalah, merupakan ide cemerlang!

Terlepas dari apakah gagasan itu cukup efektif atau tidak dalam mengurangi perang, tapi gagasan itu sebagai ‘simbol perlawanan’ patut diteladani. Kontribusi perempuan guna mendorong cara-cara damai dalam menyelesaikan masalah dapat memengaruhi sikap para suami.

‘Boikot’ para perempuan tak mau melayani suami di ranjang, patut pula ditiru perempuan Indonesia sebagai simbol perlawanan perilaku koruptif. Perlu perang besar melawan perilaku korupsi. Perilaku koruptif telah merasuki semua sisi dan dimensi.

Betapa tidak, para pejabat, anggota legistlatif, politisi dan partai di negeri ini nampaknya semakin lihai menyiasati penggelapan dana dan semakin lihai juga untuk lari dari jeratan hukum. Pihak-pihak yang seharusnya menjadi wakil serta panutan bagi rakyat, malah merugikan rakyat dengan mengkorupsi uang negara. Bahkan tanpa rasa malu mereka melarikan diri pula ke negeri tetangga (Jasmine, kompasonline, 08 Juli 2011).

Masalah terbesar menurut Maqdir Ismail (18/9/2011) dengan mengutip Bung Hatta ditahun 1970-an bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Kultur korupsi  itu misalnya tercermin dengan banyaknya kosa kata yang digunakan dan dianggap sebagai pengesahan korupsi seperti uang rokok, uang lelah, biaya kemitraan, biaya transportasi, tanda terimakasih.

Maqdir menabahkan kalau saja pernyataan Almarhum Bung Hatta ini benar, maka berarti bangsa ini sudah berangapan bahwa korupsi itu adalah satu hal yang wajar. Sesuatu hal yang pantas dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Korupsi sama dengan kebutuhan menghirup udara, makan dan minum, semua dianggap sebagai satu keniscayaan, sebagai aktifitas yang lumrah dan tidak tercela. Sikap permisif atas perilaku koruptif benar-benar mencemaskan sekaligus menggemaskan!


Dengan begitu pemberantasan korupsi ini tidak cukup hanya dilakukan melalui lembaga peradilan. Maksudnya pemberantasan korupsi bukan hanya dilakukan melalui lembaga hukum negara. Tetapi juga melalui pendekatan pendidikan formal dan non-formal.

Pemberantasan korupsi melalui lembaga peradilan memang harus dilakukan terus menerus. Bahkan harus terus didorong dan lebih diintensifkan lagi. Lebih khusus pula menaikkan peranan lembaga penegak hukum, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam mempersempit ruang gerak perilaku koruptif.

Andaikata aparat dan lembaga penegak hukum yang terbebas dari perilakun korupsi, maka para calon koruptor akan khawatir bahwa hukuman yang akan diterima pasti sangat tinggi. Tetapi selama lembaga penegak hukum diangap dapat dibeli dengan harga yang murah, maka korupsi tidak akan pernah berhenti. Atau, kalau antar-lembaga penegak hukum saling sandera, kecil peluang korupsi dapat diberantas.

Memang melakukan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan wacana dan menambah lembaga pemberantasan korupsi. Terpenting adalah sikap konsisten dalam memerangi korupsi.

Korupsi yang diberantas bukan hanya terhadap orang yang dekat atau dianggap sebagai lawan politik, tetapi sepatutnya pada lingkaran yang paling dekat dengan pemerintah dalam hal ini Presiden dan para pembantunya.

Pemberantasan korupsi sekarang ini bukan lagi jargon atau janji kampanye, bukan pula alat untuk menjaga citra (image), tetapi pemberantasan korupsi sekarang ini adalah kebutuhan.

Korupsi No

Sebaran dan ekses dari beragam karut marut perilaku koruptif, harusnya tidak menggoyahkan semangat dan segala usaha guna memberantas tindakan tersebut. Masih ada secercah harapan untuk memulihkan negeri ini dari penyakit korupsi, termasuk dari para perempuan. Tentu boikot tak mau melayani suami diranjang adalah simbol berani melawan perilaku koruptif.

Para perempuan juga harus melakoni antikorupsi di meja makan dan ruang keluarga. Para perempuan memiliki potensi besar dan dapat menjadi motor untuk mengurangi perilaku koruptif. Bertanya dan kritis atas setiap pendapatan suami yang dibawa pulang sangat membantu mengurai dan mengurangi perilaku koruptif.

Para perempuan perlu lebih kompak dan konsisten bersama elemen masyarakat lain melawan korupsi. Para perempuan harus berani menolak setiap uang pemberian suami dari hasil sogokan dalam bentuk apapun atau berapapun. Karena dengan menerima suap berarti perempuan dan keluarga telah menjadi agen-agen pendukung tindak kejahatan luar biasa.

Sebagai bentuk sikap anti-korupsi, masyarakat dan para perempuan dapat berpartisipasi dengan menutup celah-celah kesempatan bagi koruptor dari kejayaan. Masa jaya para koruptor harus segera dihentikan atau dihabisi. Tidak ada tempat sejengkalpun bagi para koruptor di negeri ini.

Cara lain, perempuan dan masyarakat dapat menggunakan hak suaranya dalam pemilu sebijak mungkin. Masyarakat bisa dengan bebas memilih kandidat yang dirasa potensial dan bersih dari keterlibatan kasus korupsi. Mulai sekarang katakan saja: Seks Yes, tapi Korupsi No!!!

 

=========

Sumber: Waspada, 15 November 2011



Tag: , ,

Post Terkait

Komentar