POST DATE | 13 Juli 2017
Di Medan, Sumatera Utara, setiap kali duka listrik padam terbuncah, setiap kali itu pula warga mengutuk PT PLN. Tahun demi tahun telah berlalu, namun kebijakan dan sikap PT PLN tidak berubah sedikit-pun. Pemadaman semena-mena terus berulang. Penindasan oleh insitusi publik negara listrik terus berjalan. Warga Medan, Sumatera Utara tidak berdaya atas penindasan hak konsumen yang begitu jelas dipertontonkan PT PLN.
Sikap lamban pemerintah dan lemahnya posisi tawar konsumen, membuat hak konsumen terus tercabik. Seolah tiada asa tersisa untuk listrik tak lagi padam. Korban listrik padam baik harta, jiwa, investasi dan pendidikan sudah tak terkira. Tetapi deadline waktu kapan krisis listrik usai, tak kunjung tiba.
Memasuki tahun 2014 ini, krisis listrik belum juga tuntas. Padahal sebagai daerah krisis sejak 2005 lalu, mestinya penanganannya juga pendekatan krisis. Kebijakan anggaran, aturan hukum dan kordinasi antar-instansi mestilah dalam situasi krisis. Hambatan birokrasi, keuangan dan koordinasi antardaerah, antarinstansi sejatinya dapat diatasi dengan baik dengan maksud segera keluar dari krisis penyediaan energi listrik.
Kejadian listrik padam secara giliran adalah ulangan pada tahun 2006 lalu. Khusus di Sumatera Utara, sejak tahun 2005, berdasar Kepmen ESDM Nomor: 479-12/43/600.2/2005, dinyatakan sebagai daerah krisis penyediaan energi listrik. Celaka dua belas, meski begitu pola penanganannya berlarut. Tidak serius, tidak terukur dan tidak sistemik, bahkan bersifat parsial.
Antarinstansi jalan sendiri-sendiri, nyaris tanpa koordinasi dan komunikasi efektif. PT PLN bergerak sendiri. Kementerian ESDM dan BUMN tak kelihatan jelas perannya. Begitu pula pemerintah Provinsi Sumatera Utara, seperti penonton yang baik. Intinya belum ada solusi cepat dan tuntas yang mengarah kepada upaya keluar dari krisis.
Secara normatif, krisis listrik terbagi dua, yaitu jika suatu daerah terjadi pemadaman listrik maka ditangani PLN bersama Kementerian ESDM. Seterusnya, berdasarkan UU Energi, krisis itu terjadi kalau memang sangat mengganggu perekonomian secara keseluruhan. Masalah itu mesti diantisipasi oleh PLN. Jika tetap tidak berhasil, Presiden sebagai ketua Dewan Energi Nasional (DEN) mesti mengambil langkah konkrit.
Tetapi apa lacur? Sampai kini hubungan antarinstansi dan antardaerah terkesan beku. PT PLN, Kemen BUMN, Kemen ESDM dan Presiden sebagai Ketua DEN, mereka terkesan absen.
Secara sosiologis pula Guberenur Sumatera nyata terlihat tidak menunjukkan sikap sebagai kreator dan inisiator yang baik. Krisis dibiarkan berterusan. Niraksi untuk memutus rantai krisis. Apa saja langkah mencari solusi krisis listrik di Sumatera Utara.
Pertanyaan, apakah peran yanag dilakoni itu sudah cukup? Apakah itu langkah solutif pada kondisi listrik telah begitu parah tingkat pelayanannya? Apakah itu langkah tepat sebagai kebijakan darurat dalam situasi krisis? Mengapa krisis sangat terlambat dapat solusinya? Mengapa tidak ada ada langkah berani memupus rantai krisis listrik?
Karena itu diprediksi krisis listrik bakal berlanjut pada tahun depan. Belitan krisis sangat kronis. Masyarakat sangat pesimis, krisis dapat teratasi dengan segera kalau melihat model kebijakan dan langkah yang ada. Apakah krisis listrik sengaja dirawat agar jadi konsumsi dan komoditi jelang Pemilu 2014? Ironis dan terlalu besar ongkos politiknya.
Jangan ditanya hasil pelaksanaan Pilkada. Janji kampanye, tidak lebih dari sekadar slogan dan seremoni atau asesoris janji kampanye belaka. Seiring perjalanan waktu, janji kampanye pilkada telah dilupakan. Kini telah jadi pil KB. Pejabat terpilih nyaris tanpa konsep untuk mengurai benang kusut masalah rakyat.
Yang pasti, Gubernur Sumatera Utara dan Pemrovsu dan DPRD SU, terkesan tak dianggap atau dipandang sebelah mata saja oleh PT. PLN. Justru Gubernur Sumut dan jajarannya meminta masyarakat memberi permakluman kepada PT PLN dengan belitan masalah pemadaman listrik itu. Gubernur Sumatera Utara dan jajaran terlihat tidak melakukan pemihakan kepada para konstituennya. Entah apa yang ada dibenak para pemegang mandat tali rakyat ini.
Padahal, krisis listrik di Sumatera Utara malah masuk dalam fase terburuk. Niatan proses keluar dari daerah krisis listrik tidak mencerminkan adanya tali mandat kepemimpinan yang kuat. Masalahnya Gubernur Sumatera nyata terlihat tidak menunjukkan sikap sebagai kreataor dan inisiator yang mumpuni.
Tetapi tak lebih dari sekadar basa-basi. Pastinya Gubernur Sumatera Utara dan jajarannya absen dalam menyuarakan aspirasi atas sikap diskriminasi. Sering muncul pertanyaan, apakah masyarakat Sumatera Utara masih punya pemimpin yang mampu menginspirasi penyelesaian masalah. Atau apakah Sumatera Utara masuk dalam kategori negeri autopilot?
Mengapa? Karena krisis telah begitu akut dalam rentang waktu yang cukup lama. Mestinya petinggi PLN tidak cukup sekadar bekerja, tapi harus berlari kencang untuk menuntas masalah. Bukan berbalas pantun dengan pelbagai dalih. Episode sinetron pembangkitan Belawan, Labuhan Angin, Nagan Raya Pangkalan Susu, Inalum adalah elegi.
Sambungan cerita sewa genset dan kasus segel kejaksaan, seperti cuka disiram ke luka. Pun halnya, dengan Gubsu dan jajarannya. Jargon mereka adalah melayani dan mengabdi untuk rakyat. Komitmen itu telah terbelah atau setengah hati. Setengah untuk diri sendiri dan sisanya jadi juru bicara PT. PLN. Paradigma pemihakan rakyat harusnya diefektifkan, tidak boleh cuma pemanis bibir, apalagi sengaja dipinggirkan. Lalu, setelah masanya tiba dipungut lagi sebagai komoditas dalam kampanye.
Golput
Masa basa basi mengakhiri krisis listrik mestilah dihentikan. Sinetron berbalas pantun atau cerita bumbu 1001 malam tak perlu. Masyarakat sudah sangat mahfum dengan krisis listrik. Tapi masyarakat sulit menerima pelbagai dalih tidak tuntas masalah krisis listrik ini.
Langkah berani dan konkrit Gubernur Sumut mestinya adalah mengumpulkan stakeholder kelistrikan untuk mengartikulasikan kepentingan warga. Gubernur duduk bersama dengan DPRD Sumut, anggota DPR dan DPD asal Sumut.
Fenomena yang muncul dipanggung politik Sumatera Utara, para aktor politik cenderung sariawan. Membiarkan byarpet berlalu begitu saja. Ilmu selamat diri makin menguat. Politisi yang berjuang untuk mengartikulasikan kepentingan keluar krisis listrik langka. Listrik byarpet, politik kebajikan mempet. Praktek politik kebajikan tinggal menyisakan sekadar wacana. Sebenarnya politik membenarkan listrik byarpet adalah sinyal bahaya.
Asumsinya, parpol dan tokohnya tidaka berjuang untuk para konstituen. Tidak ada proses edukasi politik yang mencerahkan. Politisi tidak ada menanam investasi yang membahagiakan publik. Politisi sibuk menghias diri. Tidak berusaha menggerakkan ke arah politik yang beradab. Listrik padam, nurani pun ikutan kelam. Kasus listrik byarpet mestinya memunculkan politik yang melayani dan mengabdi. Karena, byarpet terus mendera dan nirsolusi, rasanya pada Pemilu 9 April 2014 nanti golput lebih memberi warna. Golput makin berjaya…! Tidak percaya, tunggu saja.
========
Sumber: 26 Februari 2014