POST DATE | 10 Juli 2017
Mungkin masih ingat dengan iklan billboard produk bir yang mengajak konsumen dengan tagline: “Stout Lagi Lae…!” digambarkan dengan menampilkan 5 (lima) orang model, 2 laki-laki dan 3 perempuan sensual, vulgar dan seronok. Iklan bir itu menggambarkan 5 orang model tampak sedang menikmati permainan panco 2 perempuan erotis, sensual sambil memperlihatkan belahan dadanya, sementara beberapa orang menontonnya.
Iklan ini tidak beretika dikarenakan dianggap kelewat hot, meremehkan kaum perempuan dan mengajak minum bir secara vulgar. klan secara normatif menampilkan kaum perempuan sebagai obyek sensualitas secara fisik dan ajakan minum bir. Iklan tersebut secara tidak langsung telah memanipulasi perempuan sebagai objek dengan menampilkan sensualitas. Iklan itu terasa beraroma pornografi.
Sebelumnya ada merek rokok yang dinilai mereka amoral/mesum. Iklan itu memasang foto sepasang pemuda-pemudi dengan adegan yang nyaris berciuman. Pesan yang dilayangkan pada reklame itu bertuliskan “Mula-Mula Malu-Malu, Lama-Lama Mau”. Iklan ini juga dianggap bermasalah.
Selain itu banyak warga mengeluhkan bahwa iklan tersebut telah membahayakan keselamatan berkendara, lantaran terlalu seksi. Iklan papan reklame itu juga berisiko menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Hal lain yang mesti dipertimbangkan adalah konstruksi tiang reklame.
Iklan merupakan hal penting dalam suatu kegiatan bisnis. Dalam pembuatan iklan tentunya suatu produk akan mempertimbangkan berbagai aspek sehingga dari iklan tersebut dapat meningkatkan penjualan suatu produk. Aspek yang dipertimbangkan antara lain layak dan tidaknya iklan tersebut untuk dipublikasikan. Dalam mengonsumsi produk, aspek psikologis konsumen ikut dilibatkan, sehingga produk tidak lagi bernilai intrinsik material semata tetapi penuh dengan imaji psikologis yang kompleks.
Berdasarkan fakta tersebut, seharusnya seluruh elemen agency iklan dan perusahaan bir tersebut ikut bertanggung jawab mengedukasi konsumen agar selalu taat peraturan dan norma etika. Jadi, kreatif boleh saja, tapi jangan memprovokasi untuk bertindak kontraproduktif dan merusak moralitas.
Etika dan tata krama harus dipenuhi dalam segala aktivitas periklanan maupun kegiatan komunikasi pemasaran lainnya, hal ini penting untuk mendapatkan respon positif berupa penerimaan ataupun dukungan terhadap produk, merek dan perusahaan, khususnya dari konsumen. Usaha-usaha pemasaran yang tidak memenuhi etika tatakrama akan mendapatkan reaksi penolakan dari khalayak yang selanjutnya sangat mungkin bisa menimbulkan respon negatif dari konsumen.
Dalam dunia periklanan Indonesia, terdapat beberapa asas umum yang perlu diperhatikan, antara lain: Jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum Negara, sejalan dengan nilai-nilai sosial budaya, dan mendorong persaingan yang adil dan sehat.
Pemerintah semestinya tegas untuk mengatur dan mengawasi iklan yang boleh dipromosikan. Yang pasti iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan atau alasan apa pun. Berdirinya iklan itu pertanda pengawasan iklan billboard sangat lemah. Pertanyaan, di mana fungsi pengawasan pemerintah. Apakah mereka lebih mengutamakan uang untuk dan atas nama Pendapatan Asli Daerah, dibanding moralitas dan keselamatan warga? Pilihannya cuma turunkan reklame itu.
Bagi perusahaan periklanan mestinya tidak membungkus produk dengan hal-hal yang bersifat sensualitas (walaupun dengan sensualitas mendatangkan banyak konsumen). Pedoman bagi para pengiklan untuk tetap pada batasnya tertuang dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI). Selain sebagai pedoman dalam beriklan, etika pariwara juga berfungsi untuk melindungi konsumen.
Percuma saja sebuah iklan memiliki eksekusi yang sangat kreatif jika ternyata iklan yang dibuat melanggar aturan dan dapat membahayakan seorang konsumen. Seorang pengiklan tentunya memiliki tanggung jawab yang besar dalam hal ini. Walaupun iklan memiliki tujuan komersil, kenyamanan konsumen tetaplah menjadi hal utama yang harus dipertimbangkan.
Oleh karena itu, dalam membuat iklan harus beretika agar tidak merugikan masyarakat atau pihak lain, bahkan lebih baik bisa memberikan nilai edukasi dan manfaat bagi pembaca iklan. Banyak sekali ditemui iklan yang seharusnya tidak pantas diiklankan dan tidak jarang ditemui iklan yang membodohi masyarakat.
Untuk maksud agar iklan tetap beretika, masyarakat seharusnya lebih berhati-hati dalam membaca iklan, jangan mudah terpengaruh terhadap iklan yang membodohi. Pelaku usaha juga memperhatikan nilai edukasi dan nilai manfaat bagi masyarakat, bukan sebagai keuntungan saja. Selain itu pemerintah juga turut memperhatikan perkembangan periklanan di Indonesia agar tidak terlalu membawa dampak negatif bagi konsumen atau masyarakat.
Iklan dari luar negeri yang masuk ke Indonesia seharusnya bisa disaring mana yang memberikan dampak baik dan mana yang memberikan dampak buruk. Iklan juga harus dapat melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Sebenarnya etika periklanan mengenal prinsip Swakramawi (self-regulation). Swakramawi adalah suatu prinsip atau paham yang dianut oleh mayarakat periklanan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan tidak hanya pada kode etik periklanan prinsip ini diterapkan, namun juga di banyak kode etik profesi maupun kode etik bisnis lainnya.
Aplikasi swakramawi dimaksudkan untuk melindungi pelaku perniagaan dari persaingan yang tidak adil atau tidak sehat. Tujuan ini kemudian berkembang seiring dengan ketatnya persaingan dan kian kuatnya gerakan konsumerisme, sehingga swakramawi lebih banyak ditujukan untuk melindungi konsumen.
Secara sederhana, tujuan penerapan prinsip swakramawi adalah: untuk dapat dengan sebaik-baiknya mempertahankan kewibawaan komunikasi pemasaran, termasuk periklanan, demi kepentingan semua pihak. Dengan begitu, iklan mendapatkan respon positif dan menjauhi sikap penolakan dari audiens. ***
========
Sumber: http://harian.analisadaily.com