post.png
kenaikan_bbm.jpg

Nirlogika Harga BBM dan BLT

POST DATE | 27 April 2017

Akhirnya BBM naik, hampir pasti pula yang paling terpukul telak adalah masyarakat miskin. Dengan kenaikan itu, harga premium menjadi Rp6.000 per liter (sebelumnya Rp4.500), harga solar Rp5.500 per liter (Rp4.300), dan harga minyak tanah Rp2.500 (sebelumnya Rp2.000). Kenaikan harga BBM ini merupakan ketiga kalinya selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Kenaikan pertama terjadi pada Maret 2005, dengan besaran kenaikan rata-rata 29 persen. Selanjutnya, Oktober 2005, harga BBM naik lagi hingga rata-rata 128 persen. Terkini, harga BBM naik lagi rata-rata 28,7 persen. Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebutkan kenaikan harga dilakukan karena tingginya harga minyak dunia menyebabkan angka subsidi membengkak. Kondisi ini memberatkan anggaran negara?

Logika penyetaraan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri dengan harga pasar global telah memukul segenap masyarakat. Bagi masyarakat umum akan langsung menyebabkan akumulasi beban ekonomi yang tidak akan mampu dipikul oleh rakyat dan dunia usaha. Pengumuman kenaikan harga BBM itu langsung disambut kenaikan harga diberbagai sektor vital. Direktur Jasa Ritel AC Nielsen, Yongky Susilo (Media Indonesia, 24 Mei 2008, h. 1) pengaruh kenaikan harga BBM di sektor produk makanan dan kebutuhan sehari-hari naik 3-5 persen. Sektor transportasi naik 15-17 persen dan elektronika 5-10 persen. Sektor komoditas publik lainnya non-beras, minyak goreng, sayur dan bahan masakan terus merangkak naik. Bahkan menurut laporan (Media Indonesia, Senin, 26 Mei 2008, h. 1) di Pasar Oebobo, Oeba dan Kasih, Kupang Nusa tenggara Timur, harga cabai merah keriting dan bawang merah melonjak tajam hingga 100 persen.

Bahkan kalau diurut ke belakang, kebijakan menaikkan harga BMM per 2005 sebesar 157 persen itu amat memukul lebih dari 110 juta jiwa warga golongan sedang atau menengah di Indonesia. Kebijakan yang sama mengakibatkan peningkatan jumlah angka kemiskinan absolut dari 15.79 persen pada Februari 2005 menjadi 17.75 persen pada Maret 2006. Itu berdasarkan angka yang dirilis BPS. Itu pulalah ongkos sosial-ekonomi yang harus dibayar atas kebijakan menaikkan harga BBM. Malah koran ini (Analisa, 27 Mei 2008, h. 6) menulis dampak naiknya harga BBM mulai 24 Mei 2008, harga bahan-bahan kebutuhan di pasaran Medan melonjak antara 20 persen-40 persen. Sejumlah pedagang mengeluh, lonjakan harga kebutuhan itu disebabkan naiknya ongkos angkutan barang dari daerah sentra produksi ke pasar.

Data lain, menurut Badan Pusat Statistik, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan per Maret 2007 adalah 37.17 juta jiwa, atau 16.58 persen dari total penduduk Indonesia. Betapa tidak, karena menurut catatan UNICEF tahun ini, 69 juta orang Indonesia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar, dan 55 juta tak punya akses ke sumber air yang aman. Dengan kenaikan harga BBM, kelompok miskin makin terperosok, sedangkan bantuan langsung tunai dan subsidi senantiasa bocor dan tidak tepat sasaran.

Menurut Ketua Komite Tetap Moneter dan Fiskal Kamar Dagang dan Industri, Bambang Soesatyo (Kompas, 19 Mei 2008, hal. 17) dari sisi usaha, penyetaraan harga BBM dengan harga internasional akan memukul daya beli masyarakat lebih dalam lagi. Margin keuntungan yang sudah ada saat ini akan terus tergerus habis tanpa kenaikan harga jual. Menaikkan harga BBM dalam suasana pendapatan dan daya beli masyarakat yang begitu rendah merupakan tindakan ‘terjun bebas’. Sangat sulit dibayangkan, kalau menaikkan harga BBM tidak diperhitungkan secara matang, ini akan menyandera kelompok miskin, agar tetap jadi miskin? Atau, kebijakan ini langkah kontraproduktif atas ambisi pemerintah menurunkan subsidi energi?

 

Nirlogika Harga BBM

Pemerintah terpaksa melakukan penyetaraan harga BBM nasional dengan harga internasional, karena tingginya harga minyak dunia. Logika ini menunjukkan Indonesia berada di bawah bayang-bayang pasar global. Kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka, nyaris punah karena direnggut globalisasi. Tetapi dengan alasan itu banyak hal pula yang harus digugat.

Kalau pemerintah, -tatkala menyetarakan harga BBM memakai indikator harga global-, mengapa gaji, upah dan pendapatan masyarakat tidak disetarakan dengan gaji, upah dan pendapatan internasional? Mengapa pula rencana menaikkan harga BBM di Indonesia disambut gejolak resistensi? Ya, karena di tempat dan negara lain, daya beli dan ketahanan ekonomi masih kuat. Tidak serapuh dan setipis daya tahan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. Lalu, mengapa pemerintah memaksa harga BBM harus disetarakan dengan kenaikan harga BBM dunia?

Seterusnya, kalau negara di belahan dunia lain, terpaksa ikut lonjakan harga BBM dunia memang pantas. Sebab banyak negara tidak memiliki potensi sumber daya alam gas, seperti yang dipunyai Indonesia. Logis pula, manakala sebagai negara eksportir minyak, mereka menyesuaikan harga BBM-nya. Kemudian secara konstitusional, Indonesia memiliki UUD Negara Repulik Inodnesia Tahun 1945. Konstitusi sakral ini memberi jaminan bahwa menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Mengapa kemudian, justru tugas konstitusional negara ini malah terkesan cuma ‘basa basi’ saja? Di mana letak beda, Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang luar biasa dengan negara lain yang miskin sumber daya alam?

Pantas, koran ini menulis (Analisa, 27 Mei 2008, h. 6) para ibu rumah tangga terkesan pasrah, dengan alasan percuma menyampaikan keluhan, kalau toh tidak ada yang mau mendengarkan. Akhirnya para ibu apatis dan berpasrah; apa gunanya mengeluh saat ini kalau harga bahan-bahan kebutuhan sudah melonjak. Yang penting sekarang, bagaimana kita pandai-pandai mengatur uang belanja agar tetap cukup. Kondisi ini menurut M. Alfan Alfian (Media Indonesia, 26 Mei 2008, h. 1 dan 3), mendekati masyarakat terlanda ‘putus harapan’, sebagai akibat naiknya harga-harga dan hadirnya konflik-konflik dalam implementasi BLT. Bisa saja mereka punya alasan untuk berbuat kejahatan dan melakukan civil disobedience (ketidakpatuhan sipil).

 

Implementasi BLT

Kenaikan harga BBM itu memang diiringi program pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLT ini seolah merupakan program unggulan, hingga di mata orang miskin pemerintah adalah pahlawan. Menyedekahi mereka agar tidak lapar. Kemudian yang menolak program BLT adalah, kelompok yang tidak pro-kaum miskin?

BLT bertujuan untuk membantu rakyat yang terkena dampak kenaikan harga bahan bakar minyak. Tetapi program BLT ini banyak dapat resistensi dari aparatur pemerintah, khususnya di daerah. Bahkan banyak daerah mengindikasikan keberatan BLT dilaksanakan tanpa persiapan dan tanpa pembaruan data jumlah rumah tangga miskin calon penerima BLT. 

            Alasan daerah keberatan melakukan distribusi BLT disebabkan data yang tidak akurat. Pihak pengurus RT dan RW punya pengalaman buruk pembagian BLT tahun 2005. Mereka jadi sasaran kemarahan masyarakat yang tidak dapat BLT. Koran ini menulis (Analisa, 20 Mei 2008, hal. 4) penyaluran dana BLT yang akan diberikan kepada masyarakat Kota Medan, diperkirakan akan menuai masalah. Pasalnya, masih terjadi perbedaan data yang digunakan BPS dengan data yang digunakan untuk masyarakat penerima raskin (beras miskin).

Lebih jauh, menegaskan meski masyarakat miskin di seluruh tanah air sudah tidak sabar menunggu cairnya BLT. Tetapi potensi terjadinya penyalahgunaan dalam kaitan BLT sangat besar. Akibat kebijakan BLT, dipastikan pihak kelurahan dan kepala lingkungan yang paling direpotkan. Sebab merekalah yang mendata masyarakat miskin. Betapa tidak, sukses tidaknya program BLT tertumpu pada Lurah dan RT yang langsung berhadapan dengan masyarakat.

Pantas mereka khawatir, karena pemerintah melaksanakan program BLT yang besarnya Rp100.000,- per keluarga miskin setiap bulan dalam setahun. Puncak kekhawatiran itu, karena BLT bakal dilaksanakan tanpa persiapan matang dan tidak disertai pembaruan data jumlah rumah tangga miskin calon penerima BLT. Belum lagi, soal kritik

Tjahjo Kumolo (Media Indonesia, 13 Mei 2008, hal. 8) berpendapat memang baik rencana pemerintah membantu kelompok miskin melalui bantuan langsung tunai itu. Celakanya, pemerintah bermaksud menolong kelompok miskin, namun fakta yang ada orang miskin terus bertambah. Tetapi melihat begitu banyak masalah yang bakal timbul, pemerintah harusnya jangan memaksakan diri. Memang, boleh saja pemerintah memberi BLT kepada masyarakat miskin. Tetapi jauh akan lebih baik jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM.

Karena ternyata akan membuat daya tahan sosial dan ekonomi masyarakat makin menipis. Ongkos hidup makin mahal dan makin sulit pula dijangkau. Boleh saja, pakar dan ahli pemerintah berpendapat BLT dapat menopang kehidupan masyarakat miskin. Mungkin pemerintah punya asumsi BLT adalah obat mujarab sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Atau, dengan bahasa lain pemerintah memiliki program BLT, maka urusan bakal langsung tuntas?

Tetapi fakta, persoalan melaksanakan kebijakan BLT begitu kompleks mulai dari kecerobohan petugas dalam mendata orang miskin, bantuan salah sasaran, sampai pada eksistensi BLT seperti obat bius. Yakni ketergantungan kelompok miskin pada ‘belas kasihan’ dan ‘kebaikan hati’ pemerintah. Siapa yang tidak senang ketika ‘kue BLT’ tetapi ongkos sosial ekonomi yang mereka tanggung jauh dari sekadar BLT yang didapatkan itu. Masalah lain, adalah Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tidak ada perbedaan yang mencolok di dalam jumlah jam kerja antara masyarakat penerima BLT dan bukan penerima BLT. Proses terbesar BLT adalah untuk membeli beras dan minyak tanah.

Kue BLT bukan obat mujarab untuk menanggung ekses naiknya harga BBM. Sebab kelompok miskin harus mengeluarkan ongkos lebih besar dari sekadar distribusi ‘kue’ BLT. Khususnya saat mereka harus membayar biaya transportasi, sekolah, beras, minyak goreng, minyak tanah, atau komoditas publik lainnya. BLT, bukan bantuan langsung tuntas. Sebab, pemerintah cuma memberi ikan dan bukan kail, sehingga menimbulkan kemalasan. Mengapa pemerintah lebih memilih program BLT, dan bukan berupa program padat karya? Nah, lho..masih logiskah menaikkan harga BBM itu...!?

 

===============================

Sumber : Analisa, 03 Juni 2008



Tag: Blt, Harga, Bbm, Kenaikan, Bahan bakar minyak

Post Terkait

Komentar