POST DATE | 27 Juli 2017
Melalui logika dipaksakan, pemerintah bilang selama ini subsidi BBM (bahan bakar minyak) hanya menguntungkan orang kaya. Pemerintah menyatakan kenaikan harga BBM tidak akan berdampak bagi rakyat miskin. Lalu mengapa harga komoditas publik seperti ongkos transportasi umum, beras, tempe, dan sayur ikut-ikutan naik?
Faktanya pencabutaan subsidi korbannya adalah rakyat miskin atau mereka yang paling terkena dampak. Masalahnya baru sebatas isu, harga-harga kebutuhan pokok sudah berlomba-lomba naik. Kenaikan harga tak pernah dibarengi kenaikan pendapatan yang memadai. Tanpa subsidi, harga BBM berlari kencang alias ‘ngebut’ tanpa rem.
Kalau kemudian kebijakan rezim Jokowi-JK dengan melepas harga BBM sesuai mekanisme pasar adalah sukses besar menyempurnakan liberalisasi sektor migas. Dengan kata lain, pencabutan subsidi menunjukkan telah semakin sempurnanya liberalisasi tata kelola dan tata niaga minyak di Indonesia.
Dicabutnya subsidi untuk premium dan dipakainya skema fixed subsidy (subsidi tetap) untuk solar telah menyebabkan harga BBM sangat tergantung dengan mekanisme pasar.
Alasan pemerintah menaikkan harga itu adalah selain menjaga kestabilan ekonomi, saat ini disebut terjadi fluktuasi harga minyak dunia. Rupiah melemah, dan lain sebaginya. Sebelumnya harga dinaikkan, karena adanya ketidakstabilan harga terkait pertentangan pelaku pasar minyak dalam menyikapi konflik di Libya, serta produksi shale oil di Amerika Serikat (AS) masih tinggi dan kondisi pelemahan perekonomian global.
Jika harga BBM dibiarkan mengikuti harga pasar akan sulit meredam inflasi. Mekanisme harga BBM yang naik turun ini juga membuat pengusaha lebih sulit dalam membuat perhitungan harga. Begitu dinaikkan, mereka sudah terlanjur menaikkan harga produk-produknya.
Para pengusaha transportasi juga sudah menaikkan tarifnya. Ketika harga BBM turun, mereka tidak mau menurunkan harga produknya dengan alasan harga-harga lain juga tidak turun. Akhirnya, masyarakat juga yang harus menanggung kerugiannya. Intinya, efek naik turun harga BBM makin menambah pusing masyarakat.
Penyempurnaan Liberalisasi
Kini, pemerintah telah mengurangi dan menarik diri dalam melindungi rakyatnya. Padahal menurut konstitusi Indonesia sendiri penyerahan harga kepada mekanisme pasar adalah sesuatu yang dilarang (haram hukumnya).
Setidaknya proteksi hak rakyat dari liberalisasi ditunjukkan dengan dibatalkannya Pasal 28 ayat 2 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi (Migas) oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut mengatur harga migas diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar yang tidak lain adalah mekanisme pasar. Pasal itu ditolak, karena sangat terasa muatan liberalnya dan lepasnya tanggung jawab Pemerintah dalam melindungi rakyatnya.
Pada posisi seperti itu perhatian khusus dari pemerintah dan DPR. Apalagi, pemerintah mengakui belum menyiapkan langkah-langkah perlindungan, antisipatif dan korektif jika harga minyak kembali naik secara signifikan.
Publik perlu diberikan pemahaman suatu waktu bahwa subsidi harus dicabut karena di satu sisi membebani APBN dan di sisi lain membuat ruang fiskal untuk belanja sektor produktif menjadi terbatas. Apalagi jika ternyata sebagian besar subsidi yang berlaku tidak tepat sasaran. Namun demikian, bukan karena kondisi tersebut pemerintah lalu sekehendaknya menghapus subsidi tanpa memperhatikan dan melindungi masyarakat yang akan terdampak cukup fatal.
Karenanya sebelum melaksanakan pencabutan subsidi, pemerintah diminta menyiapkan program perlindungan sosial berupa penerapan subsidi langsung tepat sasaran secara sistemik dan andal. Sistem subsidi langsung ini misalnya dapat menggunakan data kependudukan yang dikompilasi melalui program e-KTP. Singkatnya, pencabutan subsidi BBM hanya dijalankan jika pola subsidi langsung yang andal dan terpercaya telah siap dilaksanakan.
Dalam hal ini pemerintah tidak perlu lagi memaksakan penggunaan berbagai kartu sosial (KKS, KIP dan KIS) yang ditengarai sarat pencitraan politik Presiden Jokowi. Selain itu, sebelum pemberlakuan pencabutan subsidi pemerintah harus membangun terlebih dahulu berbagai infrastruktur energi dan transportasi seperti sarana konversi BBM ke BBG, mengembangkan energi baru terbarukan, dan membangun sarana transportasi massal.
Dana yang dihemat dari pengurangan subsidi BBM tidak hanya digunakan untuk membangun infrastruktur dasar, pelabuhan, bandara, waduk dan saluarn irigasi, serta jalan desa. Tetapi sebagian harus diprioritaskan pula membangun sarana dan memeroduksi energi, seperti pipa gas dan SPBG, pengembangan energi baru dan terbarukan serta eksplorasi migas.
Harga minyak bisa turun dan bisa pula naik kembali. Namun, guna mengantisipasi dampak buruk kembali naiknya harga minyak dunia, pemerintah dituntut membatalkan kebijakan pencabutan subsidi BBM. Sebagian anggota masyarakat miskin dan hidup pas-pasan harus dilindungi dengan mempertahankan subsidi yang layak dan sesuai dengan kemampuan APBN, sampai tersedianya sistem subsidi langsung tepat sasaran yang terpercaya dan andal. Prasyarat lain adalah agar pemerintah membangun sarana transportasi publik dan berbagai infrastruktur energi dan konversi ke BBG (bahan bakar gas).
Pastinya kini masyarakat terbelenggu dalam ketidakpastian. Masyarakat terkaget-kaget dengan kebijakan pemerintah. Harga kebutuhan pokok liar. Melonjak naik, dan bahkan ada yang langka seperti beras dan elpiji 3 kg. Apakah ini makna revolusi mental dalam bidang ekonomi? Ekonomi kerakyatan berbalut mekanisme pasar internasional?
Memang tidak ada resistensi penolakan penaikan itu secara massif seperti demonstrasi atau aksi turun ke jalan. Begitupun sebenarnya, bukan karena masyarakat dapat menerima penaikan itu, tetapi karena melihat pemerintah tak mau mendengar suara penolakan. Masyarakat sudah bosan, apatis bahkan frustasi dengan kebijakan pemerintah. Apakah pemerintah tidak melakukan kajian mendalam atas kebijakan itu. Apakah pelbagai kasus sosial ekonomi, seperti merajalelanya kejahatan perampokan, pencurian, kelompok begal, narkotika dan lain sebagainya, merupakan tindakan yang berdiri sendiri atau memiliki keterkaitan dengan kebijakan pemerintah saat ini? Ketiadaan perlindungan hak masyarakat, atas beberapa komoditi yang dilakukan serentak membuat kaget masyarakat.
Bukan persoalan kenaikan BBM, elpiji-nya, tapi persoalan yang luput dan sekadar gaya-gayaan adalah tidak pernah ada regulasi penetapan harga. Bagaimana dan apa perlindungan kepada masyarakat atas kebijakan ekonomi ala revolusi mental? Pendapatan mangkrak, walaupun pengeluaran terus didongkrak.
========
Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com