post.png
halal_dan_perlindungan_konsumen.png

Labelisasi Halal dan Perlindungan Konsumen

POST DATE | 05 April 2017

Dasar Pijakan

Katakanlah, tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan ini itu berupa bangkai atau darah yang mengalir; dan juga daging babi. Sebab sesungguhnya semua itu kotor; atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah (QS. Al-Anam, 6: 145).

 

  1. Mengapa harus Labelisasi?

Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan (Pasal 1 angka 3 PP Nomor 69 Tahun 1999).  Selain dari label informasi tentang produk dapat diperoleh dari iklan. 

Iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan (Pasal 1 angka 4 PP Nomor 69 Tahun 1999).

Secara normatif-empiris label dan iklan pangan memiliki beberapa fungsi;

Pertama, sebagai sumber informasi. Label pangan dan iklan merupakan sumber informasi bagi konsumen tentang suatu produk pangan karena konsumen tidak dapat langsung bertemu dengan pelaku usahanya. Pelaku usaha dapat saja memasukkan unsur-unsur upaya memikat atau membujuk konsumen untuk membeli produknya. Akan tetapi label dan iklan tidak diperkenankan hanya sekadar menginformasikan sesuatu yang hanya menguntungkan dari sisi pelaku usaha. Informasi yang benar, jelas, dan jujur harus disampaikan kepada konsumen termasuk higienis dan kehalalannya (Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999)

Kedua, label dan iklan pangan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi konsumen untuk menentukan pilihan. Konsumen kritis tentu saja terdahulu membaca label dan iklan pangan dengana cermat, teliti dan melakukan perbandingan dengan produk lain dari segi komposisi, berat bersih, harga dan lain-lain sebelum membeli dan menjatuhkan pilihan (Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 1999).

Ketiga, label dan iklan dapat digunakan sebagai sarana mengikat transaksi. Label dan iklan harus mengikat. Segala sesuatu yang diinformasikan dalam label dan yang dijanjikan dalam iklan, harus dapat dibuktikan kebenarannya. Iklan harus legal, terukur, jujur dan objektif. Pelaku usaha harus bersedia dituntut apabila ternyata label dan iklannya tidak terbukti benar (Pasal 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan 17 UU Nomor 8 Tahun 1999).

Dasar penerapan labelisasi merupakan perwujudan pemenuhan hak masyarakat untuk mendapatkan produk yang dipilihnya. Khususnya agar konsumen terbebas dari produk yang tidak mengandung bahan, atau perlakuan yang tidak diizinkan agama (haram).

Perkembangan yang lahir dari ‘rahim’ tekhnologi pengolahan, pengemasan dan pemasaran produk barang dan/ atau jasa dewasa ini menyebabkan sistem pelabelan mutlak diperlukan. Tanpa label (tanda) masyarakat sulit mengenali bahan baku, komposisi dan proses yang dilalui oleh produk tersebut.

Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa labelisasi hanya satu bagian saja dari sistem pengawasan produk secara keseluruhan. Label hanya sekedar informasi yang diberikan untuk pemasaran, dan bukan proses produksi.

Lebih jauh dari itu, dalam mekanisme pasar sistem bebas, labelisasi dapat dipergunakan sebagai instrumen untuk merangsang pasar. Oleh karena itu, sistem pengawasan produk melalui labelisasi akan berfungsi untuk mengoreksi pasar dengan cara memberikan informasi kepada masyarakat.

 

  1. Sertifikasi Halal: Wajib atau Sukarela?

Wacana tentang watak sistem labelisasi, berada di sekitar ‘diwajibkan’ atau ‘sukarela’ saja. Penerapan sistem wajib (compulsary) berarti mengandalkan peraturan dan sistem birokrasi negara. Wajib sama dengan ‘memaksa’ pelaku usaha untuk mematuhinya.

Akan tetapi model ini bukan tanpa titik lemah. Ada kecenderungan selama ini terjadi manipulasi peraturan dan kolusi pelaksanaan. Ini sangat tidak efektif.

Sebaliknya sistem sukarela (voluntary) menyulitkan pengawasan, karena tidak ada sanksi hukum (punishment) bagi pelanggarnya seperti terjadi selama ini. Lalu sebaliknya bagaimana? Zaim Saidi menawarkan pola “campuran”. Artinya pemerintah sebagai penyedia komoditas publik (public goods) tetap harus membuat aturan main dan menjatuhkan sanksi bagi pelanggaran atas aturan main tersebut.

Tetapi fungsi pengawasan dialihkan –agar efektif- pada pihak ketiga yang independen untuk melaksanakannya. Independen dari pemerintan dan pelaku usaha (industri). Pengawasan oleh pihak ketiga harus benar benar bekerja demi masyarakat. Fungsi pengawasan yang demikian setidaknya dapat diperankan LPPOM MUI atau Ornop peduli makanan (kosmetika) halal.

 

  • Peraturan Perundang-undangan

Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menyebutkan: “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan”.

Selanjutnya ayat (2) huruf e, label sebagaiman dimaksudkan ayat (1) memuat sekurang kurangnya mengenai keterangan tentang halal. Penjelasan tentang pasal 30 ayat (2) huruf e menyebutkan: “keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting untuk masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam.

Namun demikian, pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Adapun keterangan yang dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengonsumsi pangan yang tidak halal (haram)”.

Peraturan organik UU pangan, yakni PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Pasal 10 ayat (1) menyebutkan: ”setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label”.

Pasal 11 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1999 menyatakan bahwa:” Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib memeriksa terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun setiap orang yang memproduksi dan memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan sebagai produk yang halal sesuatu ketuntuan ia wajib mencantumkan ketentuan halal pada label produknya.

Pasal 8 ayat (1) huruf h UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan: ”Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan pada label”.

Secara normatif peraturan hukum yang mengatur sertifikasi halal bagi produk pangan olahan paling tidak mendapat pengakuan kuat dan kokoh didalam ketiga hukum positif tersebut diatas. Namun demikian, pencantuman penulisan halal itu pada dasarnya hanya bersifat sukarela semata, hingga secara yuridis belum ada peraturan hukum positif Indonesia yang mewajibkan para produsen pangan olahan untuk mencantumkan label halal (atau haram?) pada setiap produknya.

Secara sosiologis peraturan hukum positif kewajiban sertifikasi halal (atau haram?) diperlukan sebagai proteksi bagi konsumen Indonesia yang mayoritas Islam. Dengan adanya kewajiban sertifikasi halal (atau haram?) tentu saja dapat menghindarkan timbulnya keraguan umat Islam sekaligus memberikan ketenteraman dan keyakinan bahwa pangan yang dikonsumsinya memang aman dari segi agama (keamanan spiritual).

Selama ini banyak produk pangan olahan yang tidak memiliki sertifikat halal (atau haram?), sehingga tidak diketahui halal atau haramnya. Yang pasti dengan adanya sertifikasi halal (atau haram?) kontroversi yang pernah terjadi seperti pada kasus Aji-No-Moto, Indomie mengandung lemak babi, dan kasus Bika Ambon dapat dieliminir.

Dengan merujuk ketentuan Pasal 4 hurf a dan c UU Nomor 8 Tahun 1999, bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan suatu barang, serta konsumen berhak untuk memilih, perlu diwajibkan sertifikasi yang berisi memberi ruang dan kesempatan bagi kelompok masyarakat yang tidak mengonsumsi barang yang haram.

Bentunya yaitu berupa kewajiban bagi produsen pangan olahan untuk memberikan informasi yang benar kepada konsumen, apakah produk pangan olahannya itu mengandung zat haram atau tidak.

Berdasarkan itu seharusnya pencantuman label halal pada setiap produk pangan semestinya dijadikan hukum wajib diserati sanksi, sehingga tidak dapat disimpangi oleh pelaku usaha.

Oleh itu, dari 1500-an produk pangan ternyata hanya 10% yang mencantumkan label halal dan mengantongi sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI, sisanya 90% belum mencantumkan label halal, hingga masih sangat diragukan kehalalannya.

 

  1. Manajemen Sertifikasi Halal: Mandat di Tangan Siapa?

Ketika masyarakat ragu-ragu, bimbang atau (bahkan mungkin) panik serta merasakan tekanan emosional dalam memikirkan label halal atau haram dari suatu produk, maka sesungguhnya kontrol produksi ekonomi telah bergeser dari “pabrik ke MUI dan Balai POM”.

Keadaan ini telah menyebabkan masyarakat konsumen merasa menjadi pecundang (atau dikhianati?), karena kedua institusi ini dinilai gagal melakukan tugasnya. Tugas menjaga dan mengawasi produk makanan dan obat-obatan menjadi sabgat niscaya (nisbi).

MUI meruapakan pelaksana manajemen sertifikasi halal (atau haram?) berdasarkan mandat PP Nomor 69 Tahun 1999. Pasal 11 ayat (2) menyebutkan; “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan timbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut”.

Selanjutnya penjelasan Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa: “Lembaga keagamaan dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia”. Selanjutnya Pasal 34 UU Nomor 7 Tahun 1997 menyebutkan: “Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut”.

Sayangnya, kinerja LP. POM MUI terkesan sangat lamban dan tidak berdaya serta tidak efektif. Alasannya sistem legislasi yang tidak mendukung, perangkat sarana dan prasarana kelembagaan yang belum memadai, biaya/dana operasional sangat minim. Yang jelas dalam kasus bumbu penyedap masakan Aji-No-Moto, enzym berasal dari lemak babi, keberadaan MUI cq. LP. POM MUI digugat keberadaannya.

Cara kerja LPPOM MUI yang ‘terlambat’ dalam mengumumkan unsur haram pada Ajinomoto telah membuat setiap konsumen mengalami konflik batin berupa perasaan gundah dan gulana serta keamanan spiritual yang sangat terganggu. Bekerja kurang teliti merupakan kontributor terbesar bagi praktek penipuan label ‘seolah halal’ selama ini. Pengumuman MUI tentang enzym dari lemak babi di Ajinomoto secara kuantitas berdampak ditariknya 10.000 ton produk Ajinomoto dari peredaran. Seluruh Direksi PT Ajinomoto menuai hujatan(?)

Di samping itu, Balai POM dari Instansi pemerintah memikul mandat untuk melakukan pengawasan produksi, setidaknya dalam aspek keamanannya, yakni melalui mekanisme registrasi. Kedudukan Balai POM selama ini seolah berada di persimpangan jalan. Satu sisi Balai POM dituntut untuk berada di garda terdepan dalam melindungi konsumen.

Di sisi lain, Balai POM berhadapan dengan pilihan atas nama (pajak) demi kepentingan negara. Korporasi (perusahaan) harus dipelihara, karena korporasi telah membayar pajak. Di samping juga korporasi turut memberikan sejumlah materi kepada institusi dan perorangan.

Artinya korporasi menjadi lahan yang ‘basah’ untuk menghimpun materi bagi birokrasi di pemerintahan. Dengan demikian korporasi berada diruang (paling) bebas melaksanakan segala rencana produk massif dengan sedikit (saja) kontrol dari pemerintah (Balai POM).

Adalah sangat menarik gagasan membentuk tim pemerintahan yang bernama ‘Komite Halal Nasional’ (KHN). MUI melalui sekretari Umum Din Syamsuddin (waktu itu) mengeluarkan reaksi keras; “pemerintah jangan cawe-cawe dengan peran MUI, oleh karena peran KHN hanya akan mengambil alih peran LP. POM MUI”.

Setidaknya gagasan itu merupakan wacana yang layak dijual untuk mendorong LP. POM MUI menjadi lebih proaktif membangun image, bahwa sesungguhnya LP. POM berada dibarisan terdepan untuk memberikan perlindungan konsumen dari segala ancaman produk pangan yang mengandung unsur haram.

Sebenarnya dari sisi kredibilitas dan otoritas pemberian mandat sertifikasi pada MUI merupakan langkah yang tidak perlu diragukan. Peran LPPOM MUI yang berada diluar –bukan pemerintah dan bukan pelaku usaha-, menempatkan LP. POM MUI (badan otonom dari MUI) sebagai penjaga nurani konsumen dalam posisi yang tepat.

Tetapi demi menjaga citra (kredibilitas) tempat yang tepat saja tidak cukup. Harus dibuat legislasi sebagai penopang aksi, pemastian mekanisme pengambilan keputusan dan pembiayaan yang independen. Menyangkut pembiayaan dalam sertifikasi halal MUI terkesan selama ini ‘terlampau komersial dan melupakan tugas mulianya’?

 

  1. Pilih Mana, Label Halam atau Haram?

Di negara yang penganut Muslimnya minoritas, seperti Thailand, Singapura, dan Amerika Serikat, telah mencantumkan label halal pada makanan yang dikonsumsi umat Islam. Di Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim, label halal belum menjadi sesuatu yang wajib, namun hanya sukarela sehingga semua tergantung pada itikad baik pelaku usaha untuk memintakan sertifikat halal terhadap suatu produknya.

Meskipun demikian, secara faktual banyak tuntutan agar ada legislasi yang membuka ruang bahwa ketentuan sertifikasi halal (atau haram?) menjadi wajib. Pemerintah harus menetapkan bahwa setiap produk yang dikonsumsi manusia mencantumkan label halal.

Konsekuensinya setiap produk yang tidak mencantumkan label halal didiskualifikasi sebagai barang haram dan tidak boleh dikonsumsi umat Islam. Pola ini tentu saja merupakan ‘palu godam’ bagi pelaku usaha yang belum memperoleh sertifikasi halal untuk segera mendaftarkan kepada lembag yang berwenang.

Dasar ‘wajib’ mencantumkan sertifikasi halal mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragam Islam dan sebagai konsumen terbesar bagi produk pangan impor maupun lokal. Kelompok konsumen Muslim berhak mendapat proteksi agar terhidar dari mengonsumsi barang haram, hingga kemudaia tidak terjerumus ke lubang kegelapan akibat mengonsumsi barang haram.

Sabda Nabi Muhmmad SAW; kullu lahmin nabat min sukhtin, fannaru aula bih (setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram, maka neraka lebih berhak darinya).

Sesungguhnya hukum halal dan haram dalam dienul Islam erat kaitannya dengan perilaku kehidupan umat manusia, baik dalam bentuk amal ibadahnya, dalam hal makanan serta minuman , dalam pakaiannya, tata cara pernikannya dan segala bentuk hubungan muamalah, akhlaq (etika) segala jenis perbuatan manusia di dunia. Persoalan halal-haram merupakan salah satu norma yang ingin ditegakkan oleh Islam dalam kehidupan dunia.

Mencermati proses dan mekanisme mendapatkan sertifikasi halal yang berlaku selama ini dirsakan sangat memberatkan bagi kebanyakan produsen, khususnya kelompok produsen kelas menengah kebawah.

Dalam mendapatkan sertifikasi halal dibutuhkan biaya puluhan juta rupiah dan proses teknis yang sangat panjang. Bagi produsen yang beritikad baik untuk tetap melindungi kepentingan umat Islam keadaan seperti ini tentu saja sangat dilematis, oleh karena hanya menguntungkan produsen pangan olahan yang besar saja.

Idealnya dalam rangka kemajuan usahanya semua produsen pangan olahan, baik besar maupun kecil dapat mengakses mekanisme sertifikat halal.

Lalu, untuk mengamputasi tingginya biaya sertifikasi halal dan proses teknis yang sangat panjang itu muncul gagasan sebaiknya yang disertifikasi yang haram saja. Alasannya pun cukup sederhana, biaya lebih murah, proses teknis tidak banyak, dan produk makanan haram itu jauh lebih sedikit.

Bismar mempertanyakan; “mengapa tidak yang haram saja dilabeli. Bukankah yang halal jauh lebih banyak daripada yang haram?” Selain itu menurut Bismar, “kalau yang halal nggak usah diingatkan, yang terpenting adalah mengingatkan orang Islam tentang yang haram”.

Pendapat itu diamini Tini Hadad, “saya kira akan lebih efektif, jika yang diberi label itu makanan yang haram saja. Jangan makanan yang halal. Umat Islam kan mayoritas, kalau semua makanan yang ada harus ada label halal, berapa ratus ribu makan yang yang harus bersertifikat halal? Ini tidak efektif dan terlalu banyak makan biaya”.

Tetapi, respon MUI melalui Ketua LPPOM MUI Aisyah Girindra, justru menolak keras pendapat yang demikian. Alasannya, “apakah jika sudah ada label haram, otomatis makanan yang lain dianggap halal?”. Tentu alasan itu tidak rasional, “halal atau haram itu harus dibuktikan terlebih dahulu”. Nah, lho?

Fakta bahwa yang bisa mengakses sertifikat halal itu hanya kalangan pelaku usaha besar  saja merupakan sesuatu yang tidak terbantah. Namun demikian, jika ingin tetap mempertahankan sertifikat halal, sudah siapkah pemerintah dan LP. POM MUI melakukan de-birokratisasi akses pada pengusaha kelas menengah dan kecil. Setidaknya kemudahan sertifikasi halal dapat mengantar kehidupan kita tidak terlalu banyak kandungan musytabihat-nya atau terlebih-lebih muatan haramnya.



Tag: Halal, Konsumen

Post Terkait

Komentar