POST DATE | 03 April 2017
Nasib RUU Jaminan Produk Halal (JPH) jelang berakhirnya masa kerja DPR 2009-2014 nampaknya masih belum jelas. Posisi RUU JPH seperti berada di persimpangan jalan. Kesan yang muncul adalah upaya sertifikasi halal bagi semua produk domestik yang digagas melalui RUU JPH masih mendeg dan sulit mendapatkan titik temu?
Persepsi atas substansi RUU JPH sulit disamakan. Antara pihak Kementerian Agama (Kemenag), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga para pelaku industri makanan dan minuman, serta farmasi sulit mendapatkan kesepakatan. Poin terkait sifat UU Jaminan Produk Halal apakah mandatory (permanen) atau voluntary (sukarela) masih menjadi perdebatan.
Seterusnya, siapa pemberi sertifikasi halal, apakah MUI atau Kementerian Agama, dan lain sebagaianya. Apakah RUU JPH tidak akan dapat diselesaikan pada akhir masa kerja anggota DPR periode 2009-2014.
Pesta demokrasi Pemilu legislatif 2014 telah usai. Isu RUU JPH makin ketinggalan, karena perhatian pemerintah dan DPR lebih tercurah ke arah Pilpres. Lalu, apakah pengesahan berupa UU JPH, dapat menjadi kado indah sebagai kenang-kenangan bagi konsumen muslim dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono berakhir? Wallahu a’lam bissawab.
Padahal, Anwar Abbas (2014) menilai, kalau RUU JPH dapat diselesaikan secara cepat, selain menguntungkan secara “syar’iyyah”, juga bermakna secara “siyasah”. Persatuan umat dapat tersimbol pada UU JPH dimaksud. UU JPH mempunyai kedudukan penting, karena dapat melindungi umat dari kemungkinan mengonsumsi produk syubhat atau haram.
Di tengah rawannya pelanggaran hak konsumen Muslim, UU JPH dianggap sebagai sandaran legal (payung hukum) dalam upaya menjamin kehalalan produk. Potensi produk syubhat (keraguan) atau haram dapat diminimalkan.
Produk yang ada adalah benar-benar halal untuk dikonsumsi. Bebas dari adanya unsur haram. Hak konsumen Muslim untuk mengonsumsi makanan/minuman halal terjamin.
Ketiadaan UU JPH menunjukkan tidak ada yang menjamin kehalalan sebuah produk. Pengesahan RUU JPH adalah sebuah ikhtiar untuk memberikan jaminan produk halal bagi konsumen Muslim melalui instrumen sertifikat dan label halal.
Selain upaya mengesahkan RUU JPH konsumen Muslim juga harus sadar halal. Kalau konsumen muslim hanya mau mengonsumsi barang-barang halal, secara otomatis produsen pun akan terdorong untuk menempuh jalan sertifikasi dan label halal.
Bagi produsen, Rasulullah Saw, berpesan bahwa seorang pedagang tidak boleh menjual barang yang ada aibnya (termasuk halal atau haram), kecuali setelah menjelaskannya kepada pembeli. Melalui Uqbah ibn ’Amir RA, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Orang Islam itu bersaudara. Orang Islam tidak boleh menjual barang yang ada aibnya, kecuali setelah menjelaskannya kepada pembeli.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Hak Konsumen
Hak-hak konsumen sudah dilindungi di dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Kendati demikian, Umi Karomah (2009) menilai bahwa pelbagai peraturan berkaitan dengan label halal belum cukup kuat untuk mendorong adanya akses yang baik untuk memperoleh produk halal. Misalnya akses untuk mengetahui apakah pangan yang dikonsumsi konsumen termasuk dalam kategori ‘halal’ atau tidak?
Mulyaningsih (2004) menegaskan bahwa kehalalan produk perlu diatur dan dikendalikan agar informasi yang disampaikan benar dan tidak menyesatkan. Sopa (2008) mengatakan bahwa norma yang mengatur produk halal (UU JPH) diniatkan untuk melindungi konsumen Muslim. Tetapi jaminan produk halal itu tidak dapat diwujudkan, jika pihak produsen hanya berlandaskan kepada kepentingan bisnis saja.
Sebab itu, jika kepentingan bisnis sebagai landasan, justru kondisi dapat membuka peluang terjadinya beragam manipulasi/ penyelewengan. Untuk meminimalkan kasus serupa, eksistensi UU JPH menjadi penting bagi konsumen Muslim Indonesia.
Karena, selain berkaitan dengan perintah Allah SWT untuk mengonsumsi hanya makanan yang halal dan baik (QS. Al-Baqarah: 127), soal kehalalan juga telah memunculkan aneka kasus yang menghebohkan dan meresahkan umat. Kasus itu telah banyak menguras energi dan perhatian publik.
Kasus lemak babi, kasus sapi glonggong, kasus Ajinomoto, kasus sapi celeng, kasus vaksin meningitis, kasus dendeng dari abon sapi yang mengandung babi, kasus bakso babi adalah daftar kasus manipulasi informasi yang mengelabui konsumen.
Referensi aneka kasus itu adalah titik berangkat untuk melihat betapa urgennya norma yang mengatur jaminan produk halal. Tentu, diharapkan UU JPH dapat memaksa produsen untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur kepada konsumen atas produknya, apakah halal atau tidak.
Khalayak selaku konsumen berhak mendapatkan informasi pasti tentang hal ihwal produk makanan, obat, maupun kosmetika yang dikonsumsinya. Instrumen UU JPH meningkatkan pula kesadaran konsumen akan pentingnya produk halal agar nantinya bisa selektif dalam memilih produk.
Konon pula menurut Muhammad Baghowi (2013) bahwa sekitar 93-95 persen bahan baku industri domestik masih impor sehingga belum jelas kehalalannya. Seterusnya, terdapat 40 juta pengusaha kecil yang harus melakukan sertifikasi. Jadi, upaya melindungi konsumen Muslim lebih niscaya dan itu lebih terasa efektifitasnya melalui instrumen UU JPH. Insya Allah..!
===========================
Waspada. Jumat, 27 Juni 2014