post.png
makanan_halal.jpg

Memilih Makanan Halal

POST DATE | 04 April 2017

Makanan adalah satu sumber tenaga kepada manusia. Sumber tenaga yang dikonsumsi memungkinkan manusia melaksanakan tugas harian dengan sempurna. Tentu hal ini tidak perlu diwacanakan lagi, karena makanan dapat memberikan nutrien seperti karbohidrat, protein, dan kalsium yang mampu menguatkan tubuh manusia.

Bahkan makanan dapat menentukan fase jalan hidup manusia. Pelbagai bentuk makanan dapat diperoleh dari sumber alam, contohnya, tumbuh-tumbuhan dan hewan.

Tidak hanya itu, Wan Nasron B Wan Mohd Nasir (2009) mengatakan makanan juga telah menjadi satu bentuk identitas bagi suatu suku atau daerah. Hampir setiap suku atau daerah mempunyai menu makanan yang khas. Masalahnya adalah jika nilai kebendaan dan komersil melebihi nilai kesehatan dan kemanusiaan.

Banyak pelaku industri makanan telah menggunakan pelbagai jenis bahan kimia  dengan maksud membuat makanan lebih menarik dan tahan lama (awet). Eksesnya adalah karena tidak hati-hati atau selektif dalam pola konsumsi, banyak orang telah terganggu kesehatannya.

Ada beberapa kasus yang terjadi di kalangan anak-anak atau perempuan yang mengidap obesitas akibat mengonsumi makanan serba-instan (misalnya, junk food, fast food) secara berlebihan. Malah ada juga anak-anak yang telah menghidap penyakit seperti kencing manis, darah tinggi dan penyakit kronis lain dalam usia muda.

Menurut perspektif Islam, konsepsi untuk mengonsumsi produk halal direkamkan dengan jelas Allah SWT di dalam al-Quran (Al-Baqarah, 2:172-173). Pesan Allah SWT menguraikan filsafat dan prinsip halal dalam Islam. Pesan utamanya bahwa golongan orang yang beriman disisi Allah ialah mereka yang memelihara aspek halal dan haram dalam dirinya.

Bagi umat Islam, mengonsumsi yang halal dan baik (thayyib) merupakan manivestasi dan investasi dari ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah SWT (Al-Maidah, 3: 88). Memakan yang halal dan thayyib merupakan perintah dari Allah SWT yang harus dilaksanakan oleh setiap manusia yang beriman.

Perintah ini disejajarkan dengan bertaqwa kepada Allah SWT, sebagai sebuah perintah yang sangat tegas dan jelas (Al-Baqarah, 2: 168). Rasulullah SAW bersabda: “Setiap daging (anggota tubuh) tang tumbuh dari makanan haram, maka menjadi makanan api neraka” (HR. At-Tirmidzi).

Jadi, perlu ada usaha secara terus menerus oleh umat Islam untuk memelihara dan memastikan aspek halal ini dapat dijaga dalam setiap aspek (Zulkifli Hasan, 2010). Mengenai pentingnya mencari yang halal Rasulullah SAW bersabda: “Mencari yang halal hukumnya wajib bagi setiap Muslim” (HR. Ibnu Mas’ud).

Kehati-hatian dalam mengonsumsi makanan adalah perbuatan yang terpuji. Langkah itu memandu konsumen agar tidak sembarang mengonsumsi atau memakai suatu produk tanpa tahu status halal-haramnya. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI, 2014), merilis data produk bersertifikat halal yang bererdar di Indonesia (www.hidayatullah.com).

Selama lima tahun belakangan, LPPOM MUI telah mengeluarkan sertifikat halal sebanyak 13.136 dari jumlah produk 155.774 yang beredar di Indonesia. Dari data ini tentu masih banyak produk yang belum mempunyai sertifikat halal MUI.

Rilis LPPOM menunjukkan produk yang bersertifikat halal MUI didominasi produk-produk dari Indonesia, sebanyak 71%. Menyusul China 17%, Asia 4%, ASEAN 4%, Eropa 3%, Australia 1%. Sebaliknya, meski produk Amerika Serikat banyak beredar di Indonesia, namun produk negeri Amerika Serikat belum ada yang bersertifikat halal MUI, alias 0%

Sertifikasi halal dimaksudkan untuk menjamin kehalalan sebuah makanan atau minuman. Artinya tidak ada lagi syubhat (keraguan) dalam makanan itu, sehingga benar-benar halal untuk dikonsumsi. Jika tidak ada sertifikasi halal tentu tidak ada yang menjamin kehalalan sebuah produk.

Karena itulah Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui LPPOM dan Komisi Fatwa telah berikhtiar untuk memberikan jaminan makanan halal bagi konsumen Muslim melalui instrumen sertifikat halal.

Namun, karena sifatnya sukarela (voluntary), tidak semua produsen makanan, minuman dan obat-obatan mau melakukan sertifikasi. Karena itu agar produsen mau menyertifikasi halal produk mereka, konsumen Muslim yang jumlahnya terbesar di Indonesia harus sadar halal. Bila konsumen Muslim hanya mau mengonsumsi barang-barang halal, maka produsen pun akan terdorong untuk mengurusnya (A. Cholil Ridwan, 2014). 

 

Rambu Memilih Makanan

Karena itu, perlu pula sikap bijak konsumen Muslim tatkala akan mengonsumsi produk. Wan Nasron B Wan Mohd Nasir (2009) menyarankan untuk  menjadi konsumen yang bijak dengan cara, memastikan sumber produk berdasarkan ada atau tidaknya label halal.

Memastikan kandungan bahan yang boleh membawa kemudaratan. Tidak mudah terpengaruh dengan iklan. Mampu memilih kawasan rumah makan yang bersih, luar dan dalam. Terakhir, sebaiknya memasak sendiri makanan.

Rambu lain yang dapat dipedomani konsumen ketika memilih produk makanan agar dapat lebih terjamin dan aman (detikFood, 2010) adalah produk makanan itu mestinya; bersertifikat halal, melihat menu keseluruhan, menanyakan titik kritis, perhatikan warung/restoran yang terpisah dari rumah, curigai produk yang terlalu murah, dan jangan malu bertanya mengenai kehalalan produk.

Untuk memperkuat rambu tersebut Rahmat Hidayat  (2013) menghimbau bagi konsumen Muslim, sebelum membeli produk tertentu harus memeriksa tabel informasi yang tertera dilabel produk. Misalnya berkaitan dengan tanggal kadaluarsa, membaca label halal, nomor pendaftaran (seperti merek dalam negeri/MD, merek luar negeri/ML), komposisi produk atau daftar bahan yang digunakan. Semoga bermanfaat.

 

=====================================

Waspada. Kamis, 17 Juli 2014



Tag: Halal, Makanan

Post Terkait

Komentar