post.png
peluang_halal.jpg

Peluang dan Tantangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal

POST DATE | 03 April 2017

Setelah melalui proses panjang DPR akhirnya mengesahan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) menjadi Undang-Undang (UU), tepatnya pada Kamis (25/9). Perjalanan RUU-JPH sudah cukup lama (8 tahun). RUU JPH sudah digagas pada waktu periode DPR RI tahun 2005-2009 yang lalu dan kemudian dibahas oleh DPR RI bersama pemerintah pada periode 2009-2014.

Sebelumnya RUU JPH berkali-kali gagal disahkan menjadi UU, karena muncul perdebatan siapa pihak yang paling berwenang mengeluarkan sertifikasi halal.

Secara normatif UU JPH adalah bentuk jaminan perlindungan dan memberi kepastian bagi konsumen Muslim di Indonesia untuk mengonsumsi produk yang halal dan lagi baik. Singkatnya, UU JPH sangat diperlukan dalam usaha melindungi konsumen Muslim dalam negeri/domestik, termasuk juga mendorong percepatan transformasi industri halal di Indonesia.

UU JPH ini berisi 11 bab dan 68 pasal yang mengatur ketentuan tentang jaminan produk halal. Selama ini sulit dibedakan mana produk yang halal dan haram. Produk dimaksud meliputi makanan, minuman, kosmetik dan lain-lain.

Mengapa halal begitu penting, karena halal adalah bagian dari gaya/cara hidup yang telah diatur dalam Islam. Tujuannya pasti untuk kebaikan manusia. Halal yang dimaksud meliputi halal dalam substansinya, cara mendapatkannya, proses pembuatannya maupun cara penyajiannya.

Menurut Nur Syam  (2014) diperlukan kearifan semua kalangan untuk memastikan UU JPH berlaku efektif semenjak lima tahun yang akan datang. Waktu sela inilah yang diharapkan akan menjadi wahana untuk melakukan persiapan bagi pelaksanaan UU JPH ini.

Perlu segera melakukan sosialisasi-edukasi, dan membuat regulasi di bawahnya. Merumuskan pedomannya, membentuk BPJPH, memperbanyak auditor halal, memperbanyak jumlah penyelia halal, melengkapi infrastruktur hingga menyiapkan lembaga pemeriksa halal. Semuanya harus dilakukan secara simultan agar kala nanti UU JPH berlaku efektif, semuanya sudah siap.

Abdul Mu’ti (2014) mengatakan penerbitan UU JPH itu memberikan manfaat bagi masyarakat Muslim dan pemerintah. Bukan sebatas memberikan perlindungan terhadap produk dan bahan yang digunakan bersifat halal, tetapi juga memberikan peluang pasar ke luar negeri. Produk yang sudah bersertifikat halal secara UU itu bisa masuk pasar luar negeri. Terutama pasar di negara-negara Muslim.

 

Tantangan UU JPH

Secara ekonomi potensi UU JPH sangat besar. Ainur Bayinah (2014) mengutip State of the Global Islamic Economy Report 2013 menyebutkan secara global, tahun 2012 Muslim membelanjakan 1,088 miliar dolar AS untuk makanan halal. Pada tahun 2018, angkanya diperkirakan menjadi 1,626 miliar dolar AS. Angka itu menunjukkan ada kenaikan sekitar 49% selama 5 tahun ke depan untuk konsumsi makanan halal di seluruh dunia.

Oleh itu, jika pemerintah Indonesia mampu menangkap peluang ini, maka kehadiran UU JPH menjadi penting untuk memberikan kepastian bagi wisatawan muslim untuk datang ke Indonesia. Selain makanan halal, pada tahun 2012 juga, belanja Muslim global pada obat halal mencapai 70 miliar dolar AS. Tahun 2018 diperkirakan meningkat jadi 97 miliar dolar AS.

Urgensi dari pengesahan UU JPH dapat dilihat sebagai jawaban atas penantian panjang umat Islam Indonesia akan kepastian hukum mengonsumsi produk halal. Achmad Syalaby Ichsan (2014) mengatakan kekuatan utama UU JPH yaitu adanya sifat mandatory (diwajibkan) bagi semua pelaku usaha di negeri ini untuk menjelaskan status produknya lewat sertifikasi dan labelisasi. Artinya, jika halal maka dilabel halal. Jika haram dilabel tidak halal.

UU JPH sangat diperlukan dalam usaha melindungi konsumen muslim dalam negeri, termasuk juga mendorong transformasi industri halal di Indonesia. Idealnya UU JPH adalah pintu masuk untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari Malaysia dan Thailand.

Setelah membaca UU JPH memang banyak kelemahannya. Tetapi hadirnya UU JPH patut disyukuri. Norma dan substansi UU JPH menjawab sementara penantian panjang umat Islam.

Tetapi tidak boleh berhenti sampai di titik ini. Harus dipahami bahwa atmosfir UU JPH mestinya dapat mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara kompetitor produk halal. Misalnya, Thailand dan Malaysia. Mereka telah mengambil langkah agresif untuk memastikan produk yang diproduksi negara itu sesuai dengan kedudukannya sebaga pengeksport produk makanan halal.

Kini, tantangan utama UU JPH adalah UU tidak bisa segera dioperasionalkan. UU JPH masih membutuhkan sejumlah peraturan turunan, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen). Paling tidak ada 8 (delapan) PP dan 2 (dua) Permen yang dibutuhkan.

Selain itu, perlunya pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sekaligus penyiapan anggaran bagi operasional lembaga tersebut. Bagaimanapun masih banyak proses yang diperlukan untuk lebih operasionalnya UU JPH.

Tak cukup itu saja perlu pula ada aturan pendamping yang berkaitan dengan pungutan biaya sertifikasi halal. Kalau regulasi teknis tersebut tidak mendapat perhatian yang serius, UU JPH menjadi tidak dapat efektif dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini bisa menimbulkan kembali tarik menarik kepentingan persoalan isu produk halal.

Lagipula, sampai kini masih ada kontroversi terhadap pengesahan UU JPH. Jadi, mesti diakui masih ada sejumlah pihak yang memprotes UU JPH dan itu adalah pekerjaan rumah yang mesti dituntaskan. Lebih elok lagi, kalau UU JPH tidak sampai digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).

 

=======================

Waspada. Jumat, 31 Oktober 2014

 



Tag: Halal, Undang-undang

Post Terkait

Komentar