post.png
labelisasi_halal.jpg

RPP Labelisasi Halal: Diterima Atau Ditolak

POST DATE | 03 April 2017

Kontroversi labelisasi halal kembali muncul ke permukaan dan telah jadi bahan polemik panjang di kalangan masyarakat. Sebab nya tiada lain, adanya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Jaminan Produk Halal, yang dimotori menteri agama. Sampai kini, pembahasan RPP itu terus berlangsung dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Pembahasan RPP Itu melibatkan segenap instansi terkait, seperti Departemen Agama, Depatermen Keuangan, Depperindag, Depatermen Kehakiman dan HAM, dan Majelis Ulama Indonesia.

Upaya labelisasi merupakan perwujudan dan pemenuhan hak masyrakat untuk mendapatkan produk yang dipilih nya. Khusu nya agar Konsumen terbebas dari produk yang tidak mengandung bahan, atau perlakuan yang tidak diizinkan agama (mengandung unsur haram) untuk mengonsumsinya.

Tanpa label (tanda) masyarakat sulit mengenali bahan baku, komposisi dan proses yang dilalui oleh produk tersebut.namun demikian perlu digaris bawahi bahwa labelisasi hanya satu bagian saja dari sistem pengawasan produk secara keseluruhan.

Label hanya sekadar informasi yang diberikan untuk pemasaran, dan bukan proses produksi. Adanya system pengawasan produk melalui labelisasi akan berfungsi untuk mengoreksi pasar dengan cara memberikan informasi kepada Masyarakat.

Selama Ini yang diandalkan sebagai landasan regulasi label halal, yaitu UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. PP Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan. Pasal 8 ayat (1) huruf h UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen menegaskan: Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label halal.

Menurut ketiga peraturan itu, pencantuman tulisan halal itu pada dasar nya hanya bersifat sukarela semata, sebab secara yuridis belum ada peraturan hokum positif Indonesia yang mewajibkan para produsen pangan olahan untuk mencantumkan label halal pada setiap produknya.

Di Negara yang penganut Muslimnya minoritas, seperti Thailand, Singapura, Australia dan Amerika Serikat, telah mencantumkan label halal pada makanan yang dikonsumsi umat Islam. Di Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim, label halal belum menjadi sesuatu yang wajib, namun hanya sukarela sehingga semua tergantung pada itikad baik pelaku usaha untuk memintakan sertifikat halal terhadap setiap produknya ( M. Khoidin, 2001: 6).

Keniscayaan sertifikasi halal mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam dan sebagai konsumen terbesar bagi Produk pangan impor maupun local. Kelompok konsumen Muslim berhak mendapat proteksi agar terhindar dari mengonsumsi barang haram, hingga kemudian tidak terjerumus ke jurang kehelpan akibat mengonsumsi barang atau jasa.

Adanya labelisasi merupakan upaya preventif agar umat tidak berada di ambang keraguan dan kebimbangan, karena wilayah ‘halal-haram’ nyaris tak berjarak

 

RPP: Diterima atau Ditolak

Keberadaan RPP itu setidak nya ada beberapa keuntungan yang diperoleh. Pertama, adanya jaminan kehalalan yang dapat diandalkan terhadap suatu produk yang akan dikonsumsi umat. Kedua, jaminan kepastian berusaha bagi dunia usaha, karena akan lebih leluasa dalam memasarkan produknya. Ketiga, sebagai sumber income, (Pemasukan) bagi negara karena telah melakukan regulasi tentang labelisasi halal itu (Video Republika, 10 Juli 2003: 5).

Gagasan labelisasi halal melalui RPP yang ada harus dilihat sebagai upaya Negara untuk memberi proteksi kepada umat mayoritas agar dapat mengonsumsi barang atau jasa tanpa rasa khawatir bahkan lebih jauh dari itu, labelisasi berarti memberi ruang bagi publik untuk memilih barang atau jasa yang halal.

Pencantuman label halal dan pada kemasan produk sangat wajar dan suatu keharusan, alasannya, konsumen Muslim berhak mendapat produk yang memang halal dikonsumsi.

RPP Jaminan Produk Halal itu meski masih dalam bingkai ‘Rancangan’ ternyata tidak berjalan mulus. Sebabnya, tidak lain adanya prokontra di kalangan masyarakat yang setuju dan tidak setuju. Prokontra yang menyertai RPP Jaminan Produk Halal itu berada di sekitar masalah:

Pertama, kekhawatiran munculnya birokrasi berliku dan berbelit dalam proses pengurusan label halal. Setidaknya hal itu terlihat pada pemisahan labelisasi halal (LP. POM MUI), sertifikasi halal disinyalir akan jadi arena KKN dan menyebabkan ekonomi biaya (cost) tinggi. Ada kecurigaan dari aspek biaya. RPP akan menambah beban bagi pengusaha. Paling tidak, mereka harus menanggung biaya cetak ‘label halal resmi.’

Kedua......

Ketiga, tanpa ada proteksi khusus kelompok usaha kecil menengah (UKM) kalah bersaing dengan pengusaha besar. Subtansi RPP seolah mempersempit bahkan mematikan ruang gerak usaha kecil. Keterbatasan modal akan membuat sertifikat maupun labelisasi.

Terlepas dari soal kontroversi setuju dan tidak setuju labelisasi halal itu ada pertanyaan menggelitik untuk direnungkan bersama. Apakah pencantuman labelisasi dan sertifikat halal itu sendiri harus ‘diterima atau ditolak’?

Labelisasi halal, dapat ‘diterima’ bila regulasi itu dalam rangka untuk menjamin kehalalan seluruh produk yang masuk dan keluar dari wilayah Indonesia. Hukum labelisasi halal bahkan jadi ’wajib’, dalam perspektif Negara harus melayani dan melindungi warganya sendiri, khususnya dari ancaman produk yang tidak membawa ketenangan ketika mengonsumsinya. Apalagi umat Islam adalah kelompok mayoritas yang diakomodasi kepentingannya.

Setidaknya gonjang-ganjing isu lemak babi pada produk tertentu di pasaran tidak terulang lagi, Jadi, energi anak bangsa ini tak terbuang percuma begitu saja karena polemik isu lemak babi misalnya.

Tetapi, labelisasi halal harus ‘ditolak’ ketika kepentingan ketentraman menjalankan perintah agama dan kewajiban Negara untuk melindungi, dibungkus rapi lewat komersialisasi ajaran agama.

Substansi komersialisasi dan fulus lebih menonjol, tetapi berlabel ‘halal’ tentu harus ditolak. Di sinilah relevansinya mempertanyakan RPP Produk Jaminan Halal itu, bahwa  jika RPP bermaksud memberi ketenangan bagi umat dalam mengonsumsi produk tentu tidak ada alasan untuk menolaknya.

Sebaliknya, jika RPP sekadar mengurus fulus saja dan mengabaikan kepentingan jaminan kepastian itu, sebaiknya RPP itu buang saja dan kini ‘tutup buku’, karena produktifitas bangsa terbuang dan sia-sia saja.

 

======================

Sumut Pos, Sabtu 19 Juli 2003



Tag: Halal

Post Terkait

Komentar