post.png
mati_lagi.png

Krisis Listrik di Sumut Bebaskan Kami dari Kegelapan

POST DATE | 08 Agustus 2017

Pemadaman bergilir yang direncanakan akan berkurang nyatanya tidak terealisir. Malah makin hari justru makin parah. Kondisi ini harusnya bukan persoalan biasa dan tidak bisa dibiarkan berkepanjangan.

Apalagi kalau dikaitkan dengan program pasangan Gubernur Sumatera Utara (Syamsul Arifin-Gatot Pudjonugroho): “Tidak Lapar, Tidak Sakit, Tidak Bodoh, Mempunyai Masa Depan dan Memuliakan Perempuan”. Warga Sumatera Utara sempat mempunyai harapan, tatkala Wakil Gubernur, menjanjikan diawal jabatan (Juni 2008), bakal tidak ada lagi pemadaman 2 bulan ke depan.

Tetapi celaka dua belas, fakta menunjukkan kehendak lain. Mengapa? Karena pemadaman bergilir tetap tidak berkurang. Bahkan jelang momentum peringatan hari kemerdekaan 17 Agustusan frekuensi pemadaman bergilir itu makin tak menentu. Memang listrik ’byar-pet’ itu telah ’memantik’ rasa gusar yang sudah lama dipendam masyarakat.

Cuma, luapan aspirasi emosi itu entah disalurkan ke mana warga sudah tak tahu. Nyaris signifikansi aksi itu tidak efektif untuk mengurangi pemadaman bergilir. Kecuali sekadar mempermalukan para petinggi perusahaan ‘plat merah’ itu. Sayangnya, rasa malu itupun kini makin menipis, seiring dengan tipisnya rasa tanggungjawab hukum dan moral para politisi negeri ini.

Dulu aksi demonstrasi sebagai sikap proses pemadaman bergilir itu diarahkan ke gedung perwakilan rakyat atau instansi PT PLN. Instansi itu merupakan sasaran ’empuk’ untuk menumpahkan kekesalan itu. Memang sampai saat ini ekspresi rasa kesal atas listrik padam itu masih berada dijalur yang terkendali.Tidak ada anarkistis. Jauh sebelum ada aksi demonstrasi, gugatan legal standing NGO’s sudah diajukan lembaga konsumen. Akan tetapi, aksi hukum legal standing dimaksud terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan dengan Noreg. 395/Pdt.G/2006/PN. MDN, juga kandas ditangan hakim. Waktu itu, keadilan bagi konsumen, justru dilipat palu hakim.

Kini episode baru pemadaman bergilir dimulai lagi. Nah, ternyata kalau dilihat ke belakang, kesalahan terbesar dalam mengelola ketenagalistrikan di Indonesia disebabkan pemerintah tidak mampu mengimbangi pertumbuhan pembangkit. Minimal sama dengan pertumbuhan konsumsi listrik. Ironisnya, sejak krisis ekonomi 1997, praktis tidak ada tambahan pasokan daya yang signifikan, hingga terjadinya pemadaman bergilir akhir-akhir ini dapat diantisipasi jauh-jauh hari. Sayangnya, langkah yang diambil pemerintah sangat tidak fair, sebab pemadaman bergilir terjadi justru karena buruknya perencanaan pemerintah. Lebih khusus dalam membangun pembangkitan, tetapi warga yang dijadikan korban.

Belum merdeka..!!

Bulan Agustus ini, warga bersiap-siap merayakan hari kemerdekaan RI ke-63. Bagi manusia, usia ini adalah waktunya untuk memetik hasil apa yang pernah diusahakannya ketika muda. Namun, bukan ketentraman yang dirasakan, justru kondisi sosial ekonomi yang ada saat ini mirip seorang renta yang bergulat melawan penyakit-penyakit kronis yang terus datang menghampiri. Skala kecil untuk contohnya adalah menyangkut soal kronisnya pasokan infrastruktur vital berupa ketersediaan dan keandalan energi listrik.

Rentetan pemadaman bergilir adalah problem sosial-ekonomi faktual, karena PLN tak lelah menyuguhkan masalah keterbatasan pasokan daya listrik. Lebih parah lagi, malah wilayah ini  sudah defisit daya, sehingga tidak bisa dihindari lagi pemadaman bergilir itu. Kasihan, rentetan pemadaman bergilir ini sudah terjadi sejak awal tahun 2000 lalu. Akibat buruk pemadaman bergilir itu, apapun alasannya senantiasa berdampak menimbulkan kerugian di pihak warga.

Dikaitkan dengan kondisi buruk krisis energi listrik, benarkah warga merdeka? Ternyata secara psikologis, dan sosial-ekonomi warga yang terkena dampak pemadaman bergilir itu persis seperti daerah yang belum merdeka. PLN belum mampu membebaskan warga Sumatera Utara dari belenggu kegelapan akibat pemadaman bergilir itu.

Untuk pasangan Gubernur, bagaimana mungkin dapat mewujudkan janji saat Pilgubsu? Oleh karena, disektor kelistrikan belum dapat dibenahi. Apakah warga bakal Tidak Lapar, Tidak Sakit, Tidak Bodoh, Mempunyai Masa Depan dan Memuliakan Perempuan, sementara listrik terus padam? Bukankah perempuan paling menderita, tatkala listrik padam?.

Belilah Lilin 

Langkah apa yang bisa dilakukan untuk ’memerdekakan’  daerah Sumut dari pemadaman bergilir itu? Karena sepanjang problem defisit daya listrik tidak teratasi, warga hanya akan merdeka secara politik, tetapi tidak secara psikologis dan ekonomi-sosial. Warga telah lelah dan frustasi, tekanan psikologis dan ekonomi sebagai eskes pemadaman bergilir sulit diekspresi dengan kata-kata dan moral. Kedaulatan warga senantiasa terancam akibat pemadaman bergilir itu.

Untuk itu, meski saat ini banyak warga yang masih dalam keprihatinan, upaya ’memerdekakan diri’ dari krisis listrik tetap perlu dilakukan. Defisit daya listrik harus disingkirkan. Kebutuhan energi listrik menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. Karena pemerintah tidak mampu lagi mengimbangi pertumbuhan pembangkit, dihimbau segenap warga Sumut untuk nyicil ’beli lilin’ guna persiapan sewaktu-waktu listrik dipadamkan petinggi PLN. 

Persiapan ’beli lilin’ itu adalah cadangan energi warga sebagai modal untuk ’memerdekakan’ daerah ini dari kegelapan pemadaman bergilir. Lilin harus diartikan sebagai dewa penyelamat di saat listrik dipadamkan. Lilin adalah simbol perlawanan atas ketidaksiapan petinggi PT PLN untuk memberi pasokan energi listrik yag lebih memadai.

Lalu, apalagi solusi atas situasi yang ada saat ini? Yang jelas konsumen harus lebih kritis. Konsumen harus terus memperjuangkan haknya untuk mendapatkan pasokan energi listrik yang handal dan berkelanjutan. Sudah menjadi tugas pemerintah sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen untuk menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut.

Konsumen yang juga adalah warga negara harus terus mendesak dan mengadvokasi agar PT PLN menunjukkan kinerja yang lebih baik dan peningkatan efisiensi pengusahaan yang terus menerus, serta menerapkan prinsip-prinsip good governance. Selanjutnya konsumen harus bersikap kritis terhadap pelayanan PT PLN.

Jika krisis listrik tak kunjung dapat tuntas. Kemudian petinggi yang ada tidak mampu menjamin keamanan pasokan energi istrik, dan pelayanan yang berkeadilan dengan dasar prinsip ekonomi yang sehat. Sudah pantas konsumen meminta ’nakhoda’ yang mengawaki PT PLN saat ini untuk mundur dan memberi kesempatan kepada kepemimpinan yang lebih handal, kuat, kreatif dan energik.

Diharapkan suksesi kepemimpinan lebih memberi angin segar bagi profesionalisme pengelolaan perusahaan. Konsumen memiliki kepuasan dalam bingkai pelayanan prima. Kepemimpinan yang memiliki komitmen untuk menggiring perusahaan ke arah perbaikan dan memiliki kemampuan keluar dari krisis listrik yang begitu parah.



Tag: , , ,

Post Terkait

Komentar