POST DATE | 09 Juli 2017
Banyak orang gelisah karena puasa Ramadhan ini disambut oleh jor-joran diskon dan ajakan budaya konsumtif lainnya dari pusat-pusat belanja, melebihi ajakan spiritualitas puasa Ramadhan. Kegalauan ini bukan tanpa alasan. Media elektronika dan cetak serta media out door di kota-kota besar memang menawarkan surga belanja di bulan Ramadhan ini.
Entah berapa banyak biaya iklan yang dikeluarkan. Pastinya dari tahun ke tahun budaya konsumsi semakin digenjot mengiringi bumbu spiritualitas puasa Ramadhan yang terkesan seadanya. Karena budaya yang entah mulai kapan ini, angka konsumsi di bulan puasa Ramadhan memang melonjak tajam. Ini seperti sebuah orkestra tanpa dirigen yang memainkan lagu mars konsumtivisme tak berkesudahan.
Begitulah suasana ekonomi ramadhan, mungkin berkah atau kegagalan advokasi-edukasi belanja konsumen. Masalahnya struktur pemasaran juga tak mendorong distribusi yang ideal. Para pemodal besar dan jaringan pemasaran asing seperti supermaket, hipermaket, minimaket atau swalayan telah melakukan penetrasi langsung ke jantung ekonomi rakyat secara massif.
Hal ini telah merubah peta jaringan pasar secara ekstrem dalam kurun beberapa dekade ini. Makin terpinggirkannya pasar tradisional yang merupakan market base bagi para pengusaha kecil oleh jaringan pemasar raksasa bermodal besar. Lalu, secara signigfikan sengaja atau tak sengaja telah mengerdilkan pertumbuhan sektor perdagangan usaha kecil menengah. Lihat saja, warung-warung tradisional makin terpinggirkan oleh menterengnya minimarket milik jaringan produsen yang ada di pinggir jalan dan bahkan masuk ke gang kecil di kota dan desa.
Kalau begitu terlalu mudah untuk ditebak, siapa yang menangguk keuntungan pada kurun Ramadhan ini. Jadi, Ramadhan yang penuh berkah akan berarti sempit karena kita semua telah ikut mendesain 'keberkahan' ini tak lagi terbagi secara proporsional. Makin jauh dari konsumerisme tapi terus mendekat ke konsumtivisme.
Meluruskan Makna
Retno Widiastutui mengutip Peter Salim (1996), memaknai konsumerisme (consumerism) sebagai cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Sebaliknya arti kata konsumtif (consumtive) adalah boros.
Pada khazanah gerakan sosial, aktivis gerakan konsumen dunia, Anwar Fasal (Retno Widiastuti, 2003), mengemukakan bahwa arti kata konsumerisme adalah gerakan konsumen (consumer movement), yaitu gerakan perlindungan konsumen yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir), yaitu konsumen yang langsung mengonsumsi barang/jasa dan tidak memperjualbelikannya kembali.
Dalam arti yang lebih luas gerakan konsumen sekarang ini adalah untuk memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha, dan negara.
Gerakan ini tidak hanya mencakup isu kehidupan sehari-hari (harga naik atau kualitas buruk), tetapi juga hak asasi sebagai konsumen dan dampak pembangunan itu bagi konsumen. Nah, orang yang bekerja atau aktif memperjuangkan gerakan konsumen disebut consumerists.
Adapun makna kata konsumtif adalah sebuah perilaku yang boros, yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Secara lebih luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas. Juga, dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah.
Di dalam pemakaian bahasa, kata boros sering dikonotasikan dengan konsumtivisne. Kemudian, terjadi pemaknaan yang berlawanan antara boros dan sederhana sebagai sifat consumers. Istilah untuk pemborosan dikenal “konsumtivisme” yang dilawankan dengan “konsumerisme”, yaitu gerakan konsumen akibat perilaku pelaku usaha yang tidak jujur (fair).
Akibatnya, muncul tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment) ”mau ini-mau itu” dengan hal-hal yang telah mereka miliki. Ditambah pula dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah.
Konsumtivisme juga turut mengikis daya fikir manusia. Orang terus dijejali iklan dan disuruh mengonsumsi suatu barang yang tentu saja tidak gratis -tanpa harus tahu-, sebenarnya untuk apa ia menggunakan atau memanfaatkan barang atau jasa tersebut. Konsumtivisme adalah budaya belanja, menghabiskan sejumlah uang untuk barang-barang yang bukan kebutuhan primer.
Kebutuhan primer adalah sandang, pangan, dan papan. Entah kalau masih setuju dengan konsep itu? Konsumtivisme telah mengubah kiblat konsumsi yang seperlunya (sekadar kebutuhan) menjadi konsumsi yang mengada-ada (memuaskan keinginan).
Padahal, di sisi lain, ada banyak orang yang untuk makan saja sudah begitu sulit. Konsumtivisme membuat korbannya menjadi hidup sedemikian boros dan enggan untuk berbagi. Belanja telah menjadi tolok ukur jati diri seseorang, sebab terkait dengan banyak aspek, antara lain rasa gengsi dan status.
Substansi pembelajaran konsumerisme dari Ramadhan yakni dengan berpikir sebelum membeli. Misalnya, Apakah saya benar-benar memerlukannya? Berapa banyak yang sudah saya punya? Seberapa sering saya akan memakainya? Akan habis berapa lama? Bisakah saya meminjam saja dari teman atau keluarga? Bisakah saya melakukannya tanpa barang ini? Akankah saya bisa membersihkan dan/atau merakitnya sendiri? Akankah saya bisa memperbaikinya? Apakah barang ini berkualitas baik? Bagaimana dengan harga? Apakah ini barang sekali pakai? Apakah barang ini ramah lingkungan? Dapatkah didaur-ulang? Apakah barang ini bisa diganti dengan barang lain yang sudah saya miliki? Itulah pola konsumsi di dalam bingkai konsumerisme, dan hal-hal itu termasuk makna terpenting dari puasa Ramadhan.
Konteks Ramadhan, maka dianjurkan pemenuhan kebutuhan hidup secara sederhana dan mau berbagi dengan sesama. Di dalam pandangan Islam kegiatan ekonomi merupakan tuntutan kehidupan, di samping merupakan anjuran yang memiliki dimensi ibadah (bidimensial). Sejalan dengan MN Shiddiqi Nejjatullah dalam Suhrawardi dan Farid Wajdi (2012), bahwa aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara sederhana, kebutuhan keluarga, kebutuhan jangka panjang, menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan dan memberikan bantuan sosial menurut jalan Allah swt.
Konsumsi atau pemanfaatan merupakan hal penting dalam pengolaan kekayaan. Pemanfaatan adalah akhir dari keseluruhan proses produksi. Penggunaan harta harus diarahkan pada pilihan yang baik dan tepat agar kekayaan dapat dimanfaatkan pada jalan sebaik mungkin.
Konsumen muslim tidak hanya menekankan aspek duniawi semata. Dari segi esensi agama, ada hal-hal yang diberikan kepada konsumen Muslim untuk mendapatkan hak-haknya sebagai tuntutan kewajiban dalam mencapai nilai keimanan.
Hak-hak yang diberikan kepada muslim sebagai tuntutan kewajiban dalam aktivitas ekonomi di antaranya ialah cara mendapatkan dan mempergunakan harta secara halal. Barang dan jasa yang diperoleh harus bermanfaat untuk kemaslahatan umum dan dapat dipertanggung-jawabkan di sisi Allah Swt.
Ramadhan adalah momentum bagi setiap Muslim kembali berkontemplasi sejenak untuk mengukur pola konsumsi selama maupun di luar Ramadhan. Apakah mengikuti garis konsumtivisme atau berada dalam bingkai konsumerisme.
Jelasnya, Ramadhan adalah bulan menahan segala jenis pemikiran dan perbuatan yang jauh dan menjauh dari sikap dan nilai-nilai yang tidak Islami. Substansi Ramadhan dalam perspektif perilaku konsumsi yakni mengajarkan agar konsumen Muslim tetap dalam bingkai konsumerisme, saat maupun sesudahnya. Semoga...!
=========
Sumber: Waspada, 15 Agustus 2012